Zaman
sudah berubah, pergaulan pun makin bebas. Kenyataan itu kemudian
diperparah dengan laju perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
baik berupa gadget, internet, maupun media sosial. Ada semacam tren yang
dibentuk dalam ikatan pergaulan, bahwa pacaran merupakan sebuah
keharusan. Pacaran dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan, memiliki pacar seakan hukumnya fardhu ‘ain.
Jika ada anak muda yang berpikir untuk tidak memiliki pacar, baik itu
untuk kepentingan studi maupun karena memang didikan keluarga, maka dia
akan dicap sebagai orang kampungan dan berpola pikir kolot.
Para
pemuda yang terkena virus dari doktrin para pemuja pacaran akan merasa
tersiksa jika tidak segera memiliki pasangan. Jomblo jadi sebutan paling
menakutkan yang paling tidak ingin didengar oleh mereka. Keluar
jalan-jalan sendiri di malam minggu jadi pemandangan tak biasa di zaman
sekarang. Jika pun keluar berdua dengan sesama jenis, bisa-bisa dituduh
homo, sungguh serba salah rasanya hidup ini. Mungkin ejekan atau cibiran
itu tidak disampaikan secara langsung, tapi mereka bisa menyerang para
jomblowan dan jomblowati melalui media sosial. Media sosial sudah
menjadi strategi ampuh, selain bisa untuk mem-bully teman, wadah curhat, hingga kegiatan pencitraan para calon elit politik.
Sebenarnya apa yang dilihat dari sebuah hubungan yang bernama
pacaran? Apakah kata-kata romantisnya? Apa karena keberadaan pendamping?
Atau karena kenikmatan yang bisa diekplorasi dari masing-masing
pasangan? Coba kita perhatikan satu persatu. Kita lebih tertarik untuk
mencari seorang yang dicintai agar bisa mengungkapkan kata-kata romantis
ketimbang mengucapkannya kepada seseorang yang sejak lahir telah
mencintai kita. Siapakah gerangan? Ya, ibu dan bapak! Kenapa kita sangat
pandai untuk mencari kalimat romantis untuk orang lain, sementara hari
ulang tahun orang tua kita lupakan? Kenapa kita sangat berambisi
membahagiakan orang lain sementara orang tua kita sudah sibuk
membahagiakan kita sejak kita masih dalam kandungan?
Keberadaan
pendamping sebenarnya bukan alasan untuk menggebu-gebu mencari pacar.
Undangan pernikahan seorang teman yang kita hadiri dengan pacar tidak
akan berbeda dengan apabila kita datang sendiri. Paling yang ada, jika
datang berdua, malah kita akan terbebani dengan pertanyaan “Kapan kalian nyusul? Belum dapat modal untuk nikah ya?”. Biasanya yang terbebani akan diam mematung dengan senyuman kecut di bibir. Mereka yang terbiasa cuek bisa saja menjawab “Kami nyusul Mei, Meibi yes meibi no!”.
Nah, jika sudah seperti itu apa yang harus dibanggakan? Nikah pun belum
pasti, yang ada hanya makan hati. Contohnya lagi bagi mereka yang suka
mengajak pacarnya ke lapangan futsal untuk menonton dia yang bertanding.
Ini kan sungguh merupakan tindakan riya’ (ingin dipuji). Sang lelaki akan mulai mengatakan bahwa dia akan lebih semangat kalau ditonton oleh kekasihnya. So, apakah
sang lelaki tidak bisa menendang bola kalau tidak ditonton kekasihnya?
Apa dia hanya ingin mencetak gol kalau ditonton? Wah, bahaya kalau
seperti itu! Ketika lelakinya tidak bisa mencetak gol saat ditonton,
maka itu artinya kehadiran sang wanita tidak menimbulkan dampak apa pun.
Dengan kata lain, kehadiran seorang pacar di arena futsal tidak
berbanding lurus dengan statistik jumlah gol yang dilesakkan ke gawang.
Itu bisa jadi kesimpulan sebuah skripsi!
Selanjutnya, jika
alasan berpacaran adalah karena kenikmatan yang bisa dieksplorasi, maka
betapa naifnya sebuah hubungan itu. Bukan kebaikan yang diperoleh, tapi
hanya bukit dosa yang semakin hari makin menumpuk. Memang ada fakta
bahwa setiap tahun jumlah wanita hamil di luar nikah mengalami
peningkatan. Apakah kita tidak bisa meng-kambinghitam-kan proses pacaran
mendengar fakta tersebut? Bukankah istilah pacaran zaman sekarang sudah
menjurus ke arah perzinahan? Pacaran tidak sah tanpa ciuman, pacaran
tidak resmi tanpa pegangan, pacaran tidak asyik tanpa buka-bukaan,
pacaran belum mantap tanpa saling memberikan ‘kehormatan’! Kemudian
istilah LDR (Long Distance Relationship) oleh sebagian kalangan
digemborkan sebagai hubungan yang ‘tidak normal’. Jelas ini untuk
menggambarkan bahwa pasangan yang berhubungan jarak jauh hanya bisa
berkomunikasi dengan bantuan teknologi (telepon selular maupun media
sosial). Mereka diejek karena tidak bisa secara intensif bertemu. Mereka
di-bully karena tidak bisa berciuman, tidak bisa saling
mendekap, tidak bisa saling memuaskan secara badaniyah. Begitu parah
doktrin yang berkembang di sekitar kita!
Penganut paham
pacaran ini semakin hari semakin menjamur. Sasarannya selalu dibidikkan
pada para remaja-remaja yang baru melepas masa bau kencurnya. Anak SD
(Sekolah Dasar) kini sudah diperlihatkan tentang indahnya pacaran oleh
kakak-kakaknya, sehingga mindset anak akan semakin terbuka
untuk menerima pacaran sebagai hal yang bersifat kekinian. Banyak sudah
anak SMP yang telah hilang keperawanannya akibat pergaulan bebas.
Anehnya, mereka selalu bisa move-on untuk melupakan mantan
pacarnya yang sudah menodai, kemudian mencari lagi pacar baru yang bisa
menerima dia. Pikiran liberalnya berkata : “walaupun kehormatanku
sudah hilang, aku bisa mendapatkan cowok yang bisa menerimaku, toh
banyak lelaki yang sudah tidak perjaka, hanya saja tidak bisa dibuktikan
dengan kasat mata”. Tentu saja pacaran yang hanya memandang
pasangan sebagai objek pelampiasan nafsu sesaat akan bisa menerima
kekurangan seperti itu, tapi bukan untuk selamanya. Logikanya, tidak ada
seseorang yang mau membeli produk yang cacat, karena nanti akan
menghasilkan suatu produk baru yang cacat pula. Bisa dipastikan cinta
seperti itu tidak akan abadi, apalagi untuk mencari ridho Illahi. Jauh
panggang dari api!
Jumat, 13 Juni 2014
Senin, 12 Mei 2014
Ketika Tuhan Menciptakan Indonesia
Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja
diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja Engkau
ciptakan, Tuhan?" "Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet
biru yang bernama Bumi," kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di
atas daerah hutan hujan Amazon. Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi
planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru
ini, segalanya akan terjadi secara seimbang". Lalu Tuhan menjelaskan
kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan
menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris,
Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan
hawa dingin yang menusuk tulang. Di Eropa bagian selatan, Tuhan
menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal,
tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di
Selat Gibraltar. Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru,
"Lalu daerah apakah itu Tuhan?" "O, itu," kata Tuhan, "itu Indonesia.
Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan
flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar
di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku
ciptakan ramah tamah,suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka
warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta
mencintai seni." Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho,
katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok
Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? " Tuhan
pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the idiots that I put
in the government."
Nb : dari berbagai sumber, hasil share :)
Nb : dari berbagai sumber, hasil share :)
Rabu, 07 Mei 2014
Popular Culture and its Problem Solving by Inton Abdullah
culture
is one of components that certainly needed by a society. As a matter of fact, a
culture will help people individually to show who they really are, in which the
culture itself is indeed an identity for society in giving a sense of
distinctiveness. In reality, people live on earth without culture is
unjustifiable because the culture itself will give the uniqueness to every
single person, who views that the sense of distinctiveness is truly important.
Come up with the idea that every person is different since they were born, both
different in genetic and different in perspective will automatically have an
effect on how they behave in life. This discussion is more of a vision rather
than a comparative discussion. In addition, living in this world with no rich
of identity will not help the people to have such a beautiful life as a culture
give an identity to the people in many ways. On the other hand, many people
agreed that following the stream of globalization era is a must, meaning to say
that many people already agreed that life must have under surveillance of
globalization which is important to remember that the globalization has been a
way of Americanism currently for the plain people.
Discussing
of Americanism, it is definitely has much more link to do with popular culture.
In this globalization era, the existence of the popular culture is indeed
undeniable true. Once popular culture contributes a deformation of pure culture
of the people, it is difficult for them to turn back in maintaining the originality
of their own culture. I suppose that popular culture has been a way to americanize the people in the whole world in all this time. Nowadays, film,
music, food, language and literature have been contributing in American popular
culture as well. “There is no single culture which is immune toward the
existence of the others” (as stated on the question). Since popular culture is
well liked by many people, one of the experts, as Storey noted that ‘popular
culture’ is simply culture that is widely favored or well liked by many people.
I consider the idea of ‘well like by many people’ makes popular culture is mass
produced for mass consumed, which is financial gain of those that designing the
popular culture is also involved.
Indonesia indeed has the same
experience of popular culture. I simply take one brief case in the university
level in order to see the popular culture’s experience around me, Ahmad Dahlan
University, Yogyakarta, Indonesia, a university in which I am now. This
university principally has as a base of religion’s rule which is requiring its
student to wear appropriate clothes and to behave in appropriate manners
according to Islam. In fact, most of students (not all students) seem too far out of the religion’s rule; what
they wear and how they behave either in the university’s atmosphere or even
outside of the university. Mostly, Female students wear jeans, which is one of
the popular culture’s form and popular culture’s contribution, some of them
wear tight jeans which is giving an impression as if they wanted to show their
body shape. On the contrary, the university requires its student to not wear
tight clothes, particularly for female student because it simply broke the Islam
law (Syariat). Meanwhile, the male students in this university behave as if
there is no rule that forbid the male student to have a date with girls in the
university’s atmosphere in fact I often find them on date, even friend of mine
in this university have an affairs with some other girls outside of the
university and more than that, they met each other in a place wherever they
thought it was comfortable for them to make love outside of the university’s
atmosphere. This is absolutely not right as long as the Islam do not allow its
followers to make sexual contact before the followers get married. Meaning to
say, what they do is a kind of popular culture’s contribute such as internet.
Through internet, porn could be easily accessed, though broke the Islam law
eventually.
The case is that one of the
fundamental characteristics of popular culture which will demolish the idea of
culture’s originality, such as “not
serious concept or idealism” has been a challenge for group of people to
maintain their own originality. Because, those that design the popular culture
is not going to see the further implication of what they did. It is need to be
understood that people simply have to be aware that the idea of ‘not serious
concept or idealism’ too have a big risk, which simply to say that popular
culture will knock down the cultural values that already existed with belief
and custom among those society. As it is stated above that culture is a way of
life which is also a path that becomes a belief to be followed by those plain
people in some ways. When this popular culture well liked by many people, they will
not concern to their ‘id’ which to maintain their own culture, otherwise ‘ego’
will be a major focus for people and the people will only consume the popular
culture constantly. Thus, there is a big possibility for those people to fail
to remember their own culture. This is when the popular culture became an
unpleasant icon for society and this is also when the society is going to lose
their identity as a distinctive society compared to the others.
Considering that the former culture
is easily vulnerability, people must have kind of Cultural Awareness and
Hybridity of Culture; In order to maintain the originality of their own culture,
people simply need to see that their own culture is also their own intellectual
richness so another group of people who have another culture need to be
considered that the culture itself is their own intellectual richness in order
to make an identity, in which the identity itself is sort of restriction to
show to another group of people that they are unique and different with their
own cultures. However, they have to be fair to view that other cultures are not
inconsequential to be learned
instead. People are required to be objective instead of being prejudiced to
take what is right and to get rid of what is not right on other cultures, and
with no doubt that these whole things can be solved with the idea of cultural
hybridity and cultural awareness. All in all, the popular culture will no
longer be a terrible icon as long as people have a cultural awareness and
hybridity of culture.
Rabu, 02 April 2014
lovely dream I remember by Inton Abdullah
LOVELY
DREAM I REMEMBER
At an early dawn, dark
of the woods I smell scent of the pine
The scent isn’t come from
the woods but the body spray, cool such ice
I swear to God that I
probably would find the sweet fine-smelling pine
I smell it, my feet
didn’t see what happen in the woods but my eyes
My feet step ahead where it belong to
In the heart of the pine woods, it's two!
I saw the lovely fairy washing their face in
the river, not one but two
Swiftly, the two beautiful fairies fly away
to the high sky and the moon too
My heart bring to an
end
The fairies flight away
as if they did want me as a friend
Now, the fairies left
only the sweet scent of the pine behind then
Lastly I wake up from
the lovely dream with a fine end
*Nb
: pengalaman mimpi sendiri
puisi refleksi dari novel Ulid tak ingin ke malaysia oleh Inton Abdullah
O... Neighbor!
I adore it when it goes right
I adore it when it does well definitely
But I can’t stand to this an archipelago when it goes wrong
I hate when everything is not easy to be made out that the joy had gone
And now I talk, walk, drink even blink in the place where I don’t belong
Today in the summer I stand outside of my home
Don’t even recognize which place I used to belong
since a better place is here
Even father and mother know that I could buy things
Then I spent all my day making this :
O my home…!
I have been desperately trying to tell you just so
I am madly in love with your next door
Just so you know…
I have nothing to do with the former home
And won't never come back anymore
Minggu, 30 Maret 2014
Javanese Love Story Tukiyem and Tukijan by Inton Abdullah
Tukiyem and Tukijan
In far away Java
island, a young man about twenty years old, whose name is Tukijan holding his
sweetheart’s arm. They are lying down on a broad grass field. Under the banyan
tree, a girl name Tukiyem is holding back Tukijan’s arm tightly. She is crying,
asking for God’s blessing, so that the Tukijan’s journey to achieve his dreams
to find a better life will be smooth. They both talk about their love story
since they were first met, how they struggled for their love in the middle of
those who hated their relationship.
Tukiyem was raised
by her aunty in a poor village since her mother died. She did not have anyone
else except her aunty, now tukiyem has grown up as an enchanting girl in the
village. Nanu, that was what Tukiyem called her aunty. Nanu was a strict woman.
She never wanted Tukijan in Tukiyem’s life, because Nanu required Tukiyem to
work only for her as a “mbok jamu”, a woman in Indonesia who sells traditional
medicines around the village by walking. Tukiyem never wanted to work as a mbok
jamu, but she did not have any choice because she simply thought she must do
this for her aunty, who raised her since she was nine. Fortunately, the
atmosphere of her life started getting colorful once she met Tukijan. Tukijan had
been the only man for her in sharing her sorrowful life.
It was almost everyday
Tukiyem and Tukijan met each other in a place which they thought was
comfortable for them to make love. They did it passionately as if they were a
couple of teenagers who were drunk in love in every single day. The days
passed, Tukiyem found herself pregnant, it was her first time selling jamu and
carrying a baby in her belly at the same time, she was partly excited and
partly worried. Excited because of her baby in her belly, worried because she was
afraid of a fact that she broke the village’s rule. Most people in the village
were the follower of Islam, including her. The religion did not allow its
followers to make sexual contact before the followers get married and so did
the village. As she was a pregnant woman, it was a difficult circumstance for
her.
Tukijan, who was alone
and did not have anyone but Tukiyem in the village, was known as a poor man who
was still looking for a permanent job around the village, in the village he worked
casually as a “buruh tani”, men that worked temporarily in a farm for someone who
owned a rice field, he will got paid if he finished his work in the afternoon,
he only get one thousand five hundred rupiahs each day. The money was not
enough to fulfill of his life’s necessities. On the way home, Tukijan met Tukiyem
in the side street. At that time, Tukiyem did not waste the chance to tell Tukijan
that she was pregnant. Tukijan was happy to hear the news. Unfortunately, his wage
was not as much as other men in the village because of the temporary work he
had, he told Tukiyem the truth that both of their salaries would never cover
all the necessities if the baby was born.
Tukijan had to go out
of the village to find a better work for a better life. He promised Tukiyem
that he would never leave her behind. Tukiyem trusted him in all of her heart
that Tukijan would come back someday for her if he had a successful life. The
day after they met at the side street, they got separated by time and different
place. Tukijan left, as the months passed, her belly got bigger and bigger so making
everybody that looked at her belly suspicious and so was her aunty. Then, Tukiyem
told her aunty the truth. Knowing that her niece broke the village’s rule, Nanu
insisted Tukiyem leave the village secretly and quietly. Tukiyem lived two
miles away from the village, that nobody would ever know she lived there. 9
months passed, she gave birth. Though her life had never been happy because of
she was worried that tukijan would never find her.
Finally, tukijan came back
to his former village with his successful life, He did not find Tukiyem in the
village. Till, he asked Nanu, and Nanu told him where Tukiyem lived. Tukijan
went there. As he arrived to the village where tukiyem lived, he saw tukiyem
selling jamu to people. He walked closer to Tukiyem, grabbed Tukiyem’s arm, and
then Tukiyem looked back at a man who grabbed her arm. She was speechless, this
man was very familiar to her. She hugged Tukijan tightly and went home to see
their baby and live happy ever after.
Kamis, 13 Maret 2014
PENGARUH SISTEM PRIMOGENITURE TERHADAP KEHIDUPAN PEREMPUAN BANGSAWAN DI INGGRIS PADA ABAD KE-18 DALAM FILM SENSE AND SENSIBILITY KAJIAN FEMINIS LIBERAL
PENGARUH
SISTEM PRIMOGENITURE TERHADAP KEHIDUPAN PEREMPUAN BANGSAWAN DI INGGRIS PADA
ABAD KE-18 DALAM FILM SENSE AND SENSIBILITY
KAJIAN
FEMINIS LIBERAL
Inton & Debbi Rizki
Nurastuti
Fakultas Sastra,
Budaya dan Ilmu Komunikasi
UNIVERSITAS AHMAD
DAHLAN
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.a.
Latar Belakang
Realitas sosial seringkali menstimulasi rasa ingin tahu para cendekiawan untuk
dianalisis, baik realitas sosial yang telah ada solusinya maupun realitas
sosial yang sering menjadi wacana sensitif
hingga kini. Salah satu realitas sosial yang masih menjadi wacana
sensitif tersebut adalah isu gender. Dalam hal ini untuk mengetahui apa dan
bagaimana isu gender tersebut, penulis harus mendefinisikan terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan gender. Gender berasal dari bahasa Latin,
yaitu genus, yang berarti tipe atau jenis. Gender adalah sifat dan
perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara
sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka
gender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya.
Isu gender
sangat berkaitan erat dengan posisi wanita sebagai mahluk inferior dan pria sebagai
mahluk superior ciptaan Tuhan. Jika dihubungkan dalam film Sense and
Sensibility, dapat disimpulkan bahwa isu gender semakin diperparah dengan di
implementasikannya hukum pembagian
warisan Primogeniture di Inggris, dimana sistem bagi waris tersebut sangat
merugikan pihak perempuan dan menempatkan laki - laki sebagai posisi yang
beruntung.
Primogeniture
di Inggris merupakan warisan sistem feodal dari Normandia. Pembagian warisan
dengan sistem Primogeniture menggunakan common law, dimana system ini berdasarkan
adat dan kebiasaan. Sistem ini digunakan agar kekayaan tidak jatuh ketangan
orang lain. Pemerintah Inggris menerapkan sistem Primogeniture dari tahun 1066
hingga 1962. Kurang lebih 900 tahun masyarakat Inggris merasakan sistem
pembagian warisan Primogeniture. Sistem Primogeniture merupakan pembagian
warisan yang diberikan kepada anak laki-laki pertama saja, sedangkan anak yang
lain baik laki-laki maupun perempuan mencari harta dan tahta sendiri tanpa
mewarisi apa pun dari orang tua khususnya ayah.
Penulis mencoba
membatasi wacana diatas bahwa metode pembagian warisan Primogeniture di Inggris Raya merupakan metode pembagian warisan yang sangat mempengaruhi aspek kehidupan
karakter – karakter utama dalam film Sense and Sensibility, baik status
sosialnya maupun ekonominya. Film tersebut merupakan adaptasi dari sebuah novel
yang berjudul sama yang ditulis oleh salah satu penulis besar di Inggris yaitu
Jane Austen, dimana novel tersebut terbit pada tahun 1811. Jane Austen hidup di
keluarga kecil yang harmonis, dan di umurnya yang ke 19 tahun sang penulis
novel tersebut tinggal di lingkungan bangsawan – bangsawan Inggris di pertengahan
kedua abad 18.
Dalam hal ini perlu diketahui bahwa karya
sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Pengarang
berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau
mereka alami melalui karyanya. Selain itu, karya sastra menyuguhkan potret
kehidupan dengan menyangkut persoalan sosial dalam masyarakat, maka lahirlah
pengalaman kehidupan sosial tersebut dalam bentuk karya sastra.
Melalui
karya sastra, seorang pengarang
mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ada didalamnya. Oleh
karena itu, penulis mencoba mengintegrasikan karya sastra sebagai refleksi
kehidupan dan kehidupan sosial bermasyarakat Jane Austen yang merupakan penulis
novel Sense and Sensibility. Sehingga, dapat dikatakan bahwa Jane Austen yang
pada saat itu tinggal di lingkungan bangsawan Inggris berhasil menggambarkan
kembali bagaimana kehidupan sosial bermasyarakat para bangsawan yang hidupnya
sangat tergantung pada status sosial dan ekonominya.
Sistem
pembagian warisan dengan metode Primogeniture tersebut sangat jelas digambarkan
melalui film tersebut bahwa perempuan di Inggris pada abad ke 18 baik berdarah
bangsawan ataupun rakyat biasa tidak berhak untuk menerima warisan dari sang
ayah, sehingga dalam kasus ini sistem bagi waris metode Primogeniture sangat merugikan
kehidupan para perempuan bangsawan dari segala aspek kehidupannya, salah satu
aspeknya yaitu kondisi ekonomi perempuan – perempuan tersebut, dimana kondisi
ekonomi sangat berperan untuk mempertahankan status sosial agar tetap dianggap
the Honourable Lady di tengah masyarakat Inggris biasa (Common People), terutama
bagi karakter utama dalam film Sense and Sensibility yang merupakan seorang perempuan
yang berdarah bangsawan. Tidak hanya status sosial mereka yang terkena pengaruh
atas diterapkannya sistem Primogeniture tersebut melainkan juga hal yang
bersifat pribadi seperti halnya dunia percintaan para perempuan bangsawan.
1.b. Alasan
Film
yang berjudul Sense and Sensibility karya sutradara Ang Lee ini menurut penulis
sangat menarik untuk dikaji melalui perspektif kajian feminis liberal, karena
kajian tersebut sangat menitikberatkan pada pemerataan hak perempuan dan laki –
laki secara keseluruhan tanpa adanya pertimbangan laki – laki sebagai manusia
superior dan wanita sebagai manusia inferior. Tokoh aliran ini adalah Naomi
Wolf, sebagai "Kekuatan Feminisme" yang merupakan solusi. Kini
perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan
perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan
bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Teori
tersebut beranggapan perempuan diciptakan sama kedudukannya sebagai mahluk
ciptaan Tuhan yang memiliki kapabilitas setara dengan laki - laki, sehingga dalam
mendapatkan haknyapun seharusnya adil dan setara, tanpa adanya pertimbangan atas
perbedaan gender. Namun, hal tersebut sangat bertolak belakang dengan diimplementasikan
sistem Primogeniture di Inggris pada abad ke 18, khususnya dalam film Sense and
sensibility yang menyebabkan ketidakadilan dalam pembagian harta warisan, sehingga
menempatkan ahli waris perempuan di sudut yang tidak menguntungkan sama sekali dalam
sebuah keluarga. Adapun beberapa alasan menarik mengapa film Sense and
Sensibility ini layak dikaji diantaranya adalah :
1. Dari
beberapa kasus dalam film Sense and Sensibility yang penulis amati, salah satu
yang paling menarik untuk diketahui adalah kasus percintaan, dimana dunia
percintaan kedua karakter utama dalam film tersebut tidak hentinya mendapatkan
hambatan yang sulit dikarenakan mereka tidak mempunyai apa – apa selain status
sosialnya sebagai golongan bangsawan. Diterapkannya sistem Primogeniture dalam
film Sense and Sensibility, dimana sistem pembagian warisannya sangat tidak
menguntungkan kaum perempuan sebagai salah satu ahli waris keluarga.
2. Perempuan
sebagai manusia inferior digambarkan dengan jelas dalam film tersebut, dimana
kedua karakter kakak beradik Elinor dan Marianne, yang merupakan dua karakter utama
dalam film Sense and Sensibility, sama sekali tidak mendapatkan warisan dari
sang ayah sehingga mereka mengalami krisis ekonomi, dimana hal tersebut sangat
mempengaruhi status sosial mereka.
3. Kerangka
pikiran yang berkembang di tengah – tengah masyarakat Inggris pada abad ke 18 yang
contohnya dapat dilihat melalui jenis kelamin mahasiswa dikedua universitas
besar di Inggris yaitu Oxford dan Cambridge berdiri, faktanya hanyalah kaum
laki – laki saja yang berhak untuk duduk di bangku sekolah, sedangkan mereka
kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan, dengan kata lain
posisi wanita selalu disudutkan diabad ini.
4. Jika
kajian feminis liberal menurut Naomi yang pada hakikatnya menuntut penyetaraan
hak atas pendidikan dan pendapatan serta kemandirian perempuan sebagai individu
dihubungkan dengan fenomena sosial, khususnya yang terjadi pada abad ke 18 di
Inggris, maka hal tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta yang terjadi
pada masa itu di Inggris, khususnya dalam film Sense and Sensibility karya Ang
Lee tersebut.
1.c.
Tujuan
Tujuan umum dibuatnya tulisan ini
adalah menganalisis pengaruh sistem Primogeniture
terhadap kehidupan perempuan bangsawan (the honorable lady) di Inggris pada abad
ke 18 dalam film Sense and Sensibility melalui kajian feminis liberal, adapun
tujuan khusus penulisan diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
dampak – dampak lebih jauh atas diterapkannya sistem pembagian warisan yang
merugikan ahli waris perempuan, yaitu system Primogeniture terhadap kehidupan
para bangsawan perempuan yang direfleksikan kembali oleh Ang Lee melalui sebuah
film adaptasi dari sebuah novel berjudul sama yaitu Sense and Sensibility.
2. Menemukan
fakta diskriminasi terhadap perempuan atas penerapan sistem Primogeniture pada
abad ke 18 yang diduga adanya kemungkinan pembodohan terhadap harkat dan
martabat perempuan, khususnya perempuan bangsawan melalui film tersebut.
3. Menganalisis
kajian feminis liberal menurut pandangan Naomi Woolf dengan cara menghubungkan
bagian – bagian film yang mengandung unsur - unsur diskriminasi dengan karakter
- karakter utama yang merupakan perempuan dalam film tersebut.
4. Secara
umum, penulis berusaha mencari tahu apakah film ini merupakan gambaran
kehidupan para bangsawan di Inggris atau tidak, sebagaimana mereka hidup
dibawah tekanan sebuah stereotipe yang merugikan perempuan sebagai manusia
inferior pada abad ke 18.
5. Membandingkan
metode pembagian warisan menurut hukum Islam dengan hukum Primogeniture pada
abad ke 18 di Inggris.
II
KERANGKA TEORI
A. Teori
Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan diatas, landasan teori yang digunakan untuk
menganalisa film yang berjudul Sense and Sensibility adalah analisis kajian
feminis liberal. Oleh karena itu, membahas feminis liberal artinya membicarakan
ideology dan asal usul lahirnya feminis liberal. Adapun asal mula lahirnya
feminis liberal yaitu disebabkan oleh adanya aliran pemikiran politik yang
berada dalam proses rekonseptualisasi, pemikiran ulang, dan penstrukturan
ulang. Feminism liberal menekankan dua hal yaitu, pertama bahwa keadilan gender
menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, dan yang kedua yaitu
memastikan tidak satupun dari pelomba untuk kebaikan dan pelayanan bagi
masyarakat dirugikan secara sistematis, keadilan gender tidak menuntut kita
untuk memberikan hadiah bagi pemenang dan yang kalah . Tujuan umum dari feminis
liberal adalah menciptakan masyarakat yang adil dan peduli dimana kebebasan
berkembang karena diyakini oleh pencetus kajian feminis liberal, Naomi Woolf
bahwa hanya didalam masyarakat seperti itu perempuan dan laki – laki dapat mengembangkan
diri.
Akar feminisme abad ke-18 dan ke-19
Alison Jaggar, dalam Feminist Politic and Human Nature mengamati bahwa
pemikiran politis liberal mempunyai konsepsi atas sifat manusia, yang menempatkan keunikan kita sebagai manusia dalam kapasitas kita untuk
bernalar. Keseluruhan sistem atas hak individu dibenarkan. Bagi kaum liberal klasik
negara yang ideal harus melindungi kebebasan sipil (misalnya, kebebasan
menyampaikan pendapat). Bagi kaum liberal yang berorientasi kepada kesejahteraan, sebaliknya
Negara yang ideal lebih fokus pada keadilan ekonomi kebebasan sipil. Menurut pandangan kelompok liberal ini, individu memasuki pasar dengan
perbedaan pada posisi asal yang menguntungkan, bakat inhern dan keuntungan
semata. Feminis liberal kontemporer tampaknya lebih cenderung kepada liberalisme yang berorientasi kepada kesejahteraan. Bahkan
Susan Wendell (bukan seorang feminis liberal) menggambarkan pemikiran feminis
liberal, ditegaskannya sebagai pemikiran yang berkomitmen kepada pengaturan ulang ekonomi
secara besar-besaran dan redistribusi kemakmuran secara lebih signifikan,
karena salah satu dari tujuan
politik modern yang paling dekat dengan feminisme liberal adalah kesetaraan kesempatan, yang tentu saja akan menuntut dan juga akan membawa kepada kedua komitmen tersebut.
Gerakan Femins Liberal pada abad ke-20
di Amerika Serikat selama tahun 1960-an ada dua kelompok, yaitu The National
Women Party dan The National Federation of
Bussines and Profesional Women’s Club yang mengampanyekan hak-hak perempuan. Alih-alih usaha kedua kelompok ini, diskriminasi
terhadap perempuan tidak juga berakhir terutama karena kepentingan
hak-hak perempuan belum menjadi kesadaran dari kebanyakan penduduk
Amerika Serikat. Arah
kontemporer dalam feminism liberal berkeinginan membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk
memberikan alasan yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi
perempuan baik dalam akademi, forum, maupun pasar. Mereka menekankan bahwa masyarakat patriarkal mencampuradukan seks dan gender
dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan
kepribadian feminim yang layak untuk perempuan.
B. Metode dan Data Penelitian
Analisis data
adalah kegiatan mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi tanda/ kode, dan
mengkategorikan data sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hipotesis kerja
berdasarkan data yang diperoleh. Neong Muhadjir menyatakan bahwa analisis data
merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi,
wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang
diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Definisi-definisi
lain tentang analisi data, adalah sebagai berikut:
- Analisis data merupakan upaya memilah dan memilih data yang mempunyai makna, penting dan dapat digunakan untuk dipelajari, kemudian disampaikan pada orang lain.
- Analisis data ialah suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
- “Menganalisis data bisa diartikan mengelompokkan data membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkat data sehingga mudah untuk dibaca”.
- “Data analysis involves organizing what you have seen, heard, and read so that you can make sense of what you have learned” (Analisis data terkait secara sistematik terhadap apa dapat kamu lihat, dengar, dan kamu baca sehingga dapat membuat pengertian dari apa yang kamu pelajari).
Teknik
Analisis Data yang penulis gunakan untuk tugas yang berjudul pengaruh sistem Primogeniture terhadap
kehidupan perempuan bangsawan di Inggris pada abad ke-18 dalam Film Sense and
Sensibility ini menggunakan teknik analisis data kulitatif, dimana sumber
data dipilih dan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Proses pengumpulan data
mengutamakan perspektif emic (mementingkan bagaimana responden memandang
dan menafsirkan dunia sekitarnya). Sesuai dengan jenis data, penelitian ini
menggunakan metode pengumpulan data, pengamatan dan dokumentasi. Ketiga metode
pengumpulan data ini merupakan ciri khas penelitian kualitatif. Menurut Bogdan
dan Biklen (1982: 2), "…qualitative research and those that most embody
the characteristics we just touched upon are participant observation and
indepth interviewing". Meskipun begitu, penulis akan menggunakan metode
pengumpulan data dan pengamatan tanpa mengikutsertakan dokumentasi dalam
tulisan ini.
Adapun dari banyak jenis metode penelitian kualitatif yang ada, penulis
hanya menggunakan tiga jenis metode penelitian data kualitatif yang sangat
tepat untuk diterapkan dalam penulisan yang berjudul pengaruh sistem Primogeniture
terhadap kehidupan perempuan bangsawan di Inggris pada abad ke-18 dalam Film
Sense and Sensibility ini. Tiga metode yang digunakan adalah
sebagai berikut :
1.
Metode
Diskriptif Analisis
Metode Diskriptif Analisis akan digunakam dalam usaha mencari dan
mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menfsirkan data yang sudah ada.
Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek
penelitian.
Sanapiah Faisal mengartikan metode deskriptif adalah berusaha
mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang ada, baik kondisi atau
hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang telah berlangsung
dan berkembang. Dengan kata lain metode deskriptif adalah memberikan gambaran
yang jelas dan akurat tentang material/fenomena yang diselidiki.
2. Domain Analisis (analisis bahasa orang lain dalam konteks budaya) menurut James Spradley, sehingga menjelaskan situasi sosial
dan pola budaya di dalamnya.
a.
Hubungan semantik.
·
Tekankan arti
dari situasi sosial kepada peserta.
·
Saling
berhubungan memaknai situasi sosial dan budaya.
·
Berbagai jenis
domain: folk domains/domain rakyat (istilah mereka untuk domain), domain
campuran, analitik domain (istilah peneliti untuk domain).
b.
Pemilihan Hubungan Semantik
·
merumuskan
pernyataan tentang hubungan-hubungan
·
ulangi proses
untuk hubungan semantik yang berbeda
·
domain yang
ditemukan kemudian didaftar/didata semua.
3.
Analisis Hermeneutis (hermeneutika =
perasaan dalam teks tertulis) Max Van Manen, tidak mencari makna objektif dari teks, tetapi makna dari teks bagi sebagian
orang dalam situasi orang lain, yakni mencoba untuk keluar dari ikatan dalam diri analisis – menceritakan kisah
mereka, bukan sebagai milik penulis cerita, dan menggunakan kata-kata karakter dalam cerita, namun jika kurang interpretif maka perlu dipahami dari
pendekatan lain melalui analisis perbedaan
penafsiran teks secara berlapis. Metode
penafsiran tersebut terbagi mejadi dua yaitu :
·
Pengetahuan
dibangun/konstruktif dengan membangun makna
dari teks (dari latar belakang dan situasi sekarang – Konstruksi Sosial ini
dikarenakan pengaruh dari orang lain – interaksionisme simbolis)
·
Menggunakan konteks –
waktu dan tempat penulisan – untuk mengerti. Bagaimana situasi sosial
budayanya.
BAB II
ANALISIS
2.a.
Pembodohan terhadap perempuan sebagai mahluk ciptaan Tuhan berharkat dan
bermartabat melalui stereotipe tradisional yang berkembang pada abad ke-18 di
Inggris oleh kaum laki-laki
Membahas stereotype erat kaitannya dengan
sebuah ideology, perlu ditekankan bahwa stereotipe tradisional merupakan
perspektif awam yang melihat objek sebagai sasaran inferior, hal ini dianggap
benar pada masa itu sehingga diyakini secara turun temurun kebenarannya. Dalam
hal ini, penulis mengemukakan kembali
fenomena sosial yang telah terjadi pada abad ke-18 di Inggris, dimana fenomena
sosial tersebut sangat merugikan perempuan ketika diterapkannya system
pembagian warisan Primogeniture. System tersebut diyakini dan diterapkan
sebagai a common law di Inggris.
Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa sistem pembagian warisan primogeniture
tidak memperbolehkan perempuan mendapatkan haknya sebagai ahli waris dalam
sebuah keluarga pada abad ke 18 di Inggris. Perempuan tidak berhak menjadi ahli
waris selain laki-laki, oleh karena itu kaum laki-laki yang merupakan
satu-satunya gender di inggris yang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam
bangku sekolah hingga level universitas, seharusnya dapat berpikir kritis akan
realitas sosial yang terjadi pada kaum perempuan, sebab hanya kaum laki-laki
pada masa itu yang merupakan kaum cendekiawan.
Menanggapi kembali realitas-realitas sosial
yang terjadi, jelas dapat menstimulasi pandangan bahwa kaum laki-laki pada masa
itu sebenarnya sudah mengetahui fenomena pembodohan yang dilakukan oleh pencetus
gagasan Primogeniture yang merupakan kaum laki-laki juga. Sehingga, hal
tersebut menciderai hakekat perempuan sebagai manusia yang berharkat dan
bermartabat di tengah masyarakat Inggris, dimana masyarakatnya sangat
memperhatikan status sosial dalam bermasyarakat. Menurut pandangan penulis,
pembodohan adalah salah satu fenomena yang nyata terjadi pada perempuan abad
ke-18 di Inggris. Dengan adanya upaya membuat perempuan tertindas oleh
kesuperioritasan pembuat kebijakan yang dilakukan secara sengaja, jika penulis
hubungkan dengan fakta bahwa hanya kaum laki-laki yang diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk menjadi cendekiawan agar dipandang terhormat dalam
kehidupan bermasyarakat, sebaliknya perempuan hanya memiliki peran inferior dan
haknya dirampas, maka dapat dikatakan secara umum bahwa perempuan di Inggris
pada abad ke-18 adalah korban pembodohan stereotype baik yang secara sengaja
dikembangkan maupun tidak disengaja oleh kaum laki-laki pada masa itu.
2.b.
Sosial Kondisi
Pada
film Sense and Sensibility digambarkan dengan latar tempat pada abad ke-18.
Pada abad tersebut, pengarang menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat
tingkat menengah keatas yang ada di Inggris. Seperti yang digambarkan, dalam
film tersebut menjelakan bahwa terdapat satu keluarga yang tinggal di Norland
(sebutan rumah keluarga Dashwood). Keluarga tersebut adalah keluarga Henry
Dashwood yang memiliki 4 orang anak, 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Di
Norland Henry tinggal bersama 3 anak perempuan dan istri keduanya.
Henry
dan keluarganya tinggal di rumah yang sangat besar dan memiliki banyak
pembantu. Dalam film ini digambarkan bahwa kebanyakan bangsawan hampir tidak
pernah melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, menjemur karpet, dll. Di dalam
film ini juga digambarkan bahwa pada abad ke 18 kendaraan yang mereka miliki
berupa kuda beserta keretanya. Cara mereka berkomunikasi satu sama lain juga
masih sangat tradisional yaitu melalui surat menyurat. Jane Austen juga
menjelaskan bahwa pada abad tersebut mereka menemukan pasangan hidup mereka
dengan cara dijodohkan (match maker). Pada umumnya perjodohan tersebut
dilakukan oleh sesama keluarga bangsawan yang memiliki banyak harta sehingga
status sosial dan perekonomian mereka tetap terjamin. Masyarakat pada umunya
menikah di usia yang tergolong masih muda. Masyarakat di Inggris juga memiliki
sebuah tradisi tentang pertunangan. Kaum pria biasanya membawa gunting dan
memotong rambut calon tunangannya dan menyimpannya di dalam / sela cincinnya
sebagai bukti bahwa hati perempuan telah diikat oleh lelaki tersebut. Namun,
tradisi pertunangan ini biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh
pasangan tersebut. Biasanya rumor tentang pernikahan atau pertunangan sesama
bangsawan menyebar dengan sangat cepat, baik itu kabar baik maupun buruk.
2.c.
Dampak Negatif dari Sistem Primogeniture pada abad 18 dalam film Sense and
Sensibility
Sebelum mengkaji
atau menganalisa dampak negatif dari sistem Primogeniture, penulis akan menjelaskan definisi sistem
Primogeniture terlebih dahulu. Primogeniture di Inggris merupakan
warisan sistem feudal dari Normandia. Pembagian warisan dengan sistem
primogeniture menggunakan common law dimana hukum ini berdasarkan adat dan
kebiasaan. Sistem ini digunakan agar kekayaan tidak jatuh ke tangan orang lain.
Pemerintah Inggris menerapkan sistem primogeniture dari tahun 1066 hingga 1962.
Kurang lebih 900 tahun masyarakat Inggris merasakan sistem pembagian warisan
primogeniture. Sistem primogeniture merupakan pembagian warisan yang diberikan
kepada anak laki-laki pertama saja, sedangkan anak yang lain baik laki-laki
maupun perempuan mencari harta dan tahta sendiri tanpa mewarisi apa pun dari
orang tua khususnya ayah.
Melalui
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sistem Primogeniture dalam film Sense
and Sensibility sangat memberatkan bagi
perempuan. Penulis akan menguraikan beberapa kalimat dari dialog yang merupakan refleksi dari dampak negatif yang ditimbulkan dari Sistem Primogeniture terhadap
perempuan dalam film Sense and Sensibility:
1.
“Apakah itu John?”
“Aku disini, Ayah.”
“Hukum melarangku untuk membagi kekayaanku. Jadi kau mewarisi semuanya.
Tanpa bantuanmu, Ibu tirimu dan anak-anaknya nyaris tak punya apa-apa.”
Dari penggalan dialog diatas jelas betapa sistem Primogeniture yang
digunakan oleh masyarakat di Inggris pada abad tersebut sangat memberatkan bagi
kaum perempuan. Elinor, Marianne, Margaret dan Ibunya pada awalnya adalah
keluarga bangsawan. Namun karena Ayahnya, Henry sakit keras, dengan sangat
terpaksa semua harta warisan diserahkan kepada anak laki-laki tertua dalam
keluarga yaitu John. Oleh karena sistem tersebut, Elinor beserta Ibu dan kedua
adik perempuannya terpaksa harus meninggalkan Norland tanpa uang sepeserpun
dari harta warisan Ayahnya. Mereka harus memulai hidup baru dengan tinggal di
rumah sederhana yang kecil dan hanya dengan pendapatan 400 pounds per tahunnya.
2. “Aku
hanya ingin memberimu sedikit petunjuk tentang adikku, Edward.”
“Aku rasa dia menikmati kunjungannya, Fanny.”
“Kau harus tahu bahwa Ibuku, Ny. Ferras punya harapan
besar kepadanya.”
“Aku yakin dia akan memenuhinya.”
“..dalam karir maupun perkawinannya. Dia diharapkan
menikah pada wanita muda dari tingkat tinggi atau kaya, kalau bisa keduanya.
Kebahagiaannya akan bergantung pada harapan Ibu kami. Jika dia menentangnya,
dia tidak akan dapat apa apa.” (dialog
film Sense and Sensibility, 1995)
Dalam dialog diatas merupakan percakapan dari Mary dan
Fanny yaitu Ibu dari Elinor dan istri John. Dalam setiap kalimat yang diucapkan
oleh Fanny menegaskan bahwa Fanny tidak menyukai adiknya Edward untuk
berhubungan dengan Elinor karena Elinor adalah seorang bangsawan yang tidak
memiliki apa-apa (miskin). Oleh karena Elinor tidak mendapatkan warisan apapun
dari ayahnya, Elinor tidak dapat secara sembarangan mencintai pria bangsawan
yang memiliki warisan yang banyak seperti Edward. Edward adalah salah satu pria
yang mendapatkan banyak warisan karena sistem Primogeniture yang di berlakukan
di Inggris pada waktu itu. Sehingga Edward juga harus menikahi perempuan yang
kaya agar status sosial dan perekonomiannya tetap berada pada tempatnya.
3. “Kurasa
pasti menyakitkan bagimu melihat adikku menata Norland menurut seleranya.”
“Ini rumahnya sekarang. Kurasa ia harus lakukan sesuai
seleranya.”
“Ia juga berusaha menata diriku. Aku sangat mengecewakan
keluargaku, Nn. Dashwood. Fanny ingin aku menjadi orang yang penting.
Dibicarakan. Kemana-mana dengan kereta kuda.”
Dialog diatas menegaskan bahwa sistem Primogeniture dapat
membatasi kebahagiaan dan mengatur jalan hidup bagi orang yang menjalaninya.
Keluarga Edward ingin mengatur Edward menjadi seperti apa yang mereka mau
karena Edward adalah anak tertua yang suatu saat akan mewarisi seluruh kekayaan
keluarga Ferras. Sebagai pewaris harta, Edward juga harus berpenampilan
selayaknya anak keturunan bangsawan meskipun itu bertentangan dari keinginan
Edward.
“..
dan kamu tidak merasa dirimu dalam kereta kuda.”
“Kuda
poni dan kereta kecil cocok untukku. Aku ingin masuk ke gereja, jemaat pedesaan
yang tenang. Tapi itu tidak kurang gagah bagi keluargaku. Kurasa kita semua
harus mecari cara sendiri agar bahagia.”
4. “Kekecewaanku
adalah bahwa aku tidak tinggal di Devonshire lagi. Bibiku memaksakan hak
istimewa kekayaannya kepada sepupunya yang miskin dengan mengirimku untuk
bisnis ke London.”
“Dan kau harus berangkat segera?”
“Sebentar lagi.”
Dalam
dialog ini Tn. Willoughby memiliki alasan untuk meninggalkan Marianne karena
bibinya tidak menyetujui pernikahan mereka karena bibinya mengetahui bahwa
Marianne adalah bangsawan miskin sedangkan Tn. Willoughby adalah calon pewaris
harta kekayaan keluarganya. Selain karena alasan Marianne adalah bangsawan
miskin, Tn Willoughby ternyata akan menikahi perempuan lain sehingga membuat
alasan untuk pergi meninggalkan Marianne.
“Jika aku masih nyonya di Norland,
putri-putriku tak akan diperlakukan begini.”
Kalimat
diatas adalah dialog dari Ibu Marianne. Dapat dilihat bahwa sistem
Primogeniture di Inggris pada abad itu sangat menentukan sikap dan tindakan
satu sama lain. Orang akan segan dengan seseorang yang lain jika ia mengetahui
bahwa orang yang ia hadapi adalah seorang bangsawan yang memiliki harta warisan
yang melimpah. Namun jika sebaliknya, orang tersebut akan diperlakukan
semena-mena karena mengetahui ia adalah orang biasa. Seperti halnya Marianne
yang dicampakan Tn. Willoughby karena ia mengetahui bahwa Marianne adalah bangsawan
miskin.
5. “Bagaimanapun,
apa pengaruh harta atau kemegahan dengan kebahagiaan?”
“Kekayaan punya banyak pengaruhnya, kurasa.”
“Elinor, memalukan! Apa kita tidak bahagia? Kita tak
bahagia disinni, dan miskin seperti gipsi.”
“Ya, dan kurasa kita mungkin akan lebih bahagia jika
lebih banyak uang.”
Dari penggalan dialog diatas menegaskan bahwa sistem
Primogeniture juga mempengaruhi pola pikir masyarakat di Inggris terutama
wanita. Dalam film ini, perempuan di Inggris digambarkan sebagian besar
memiliki watak materialistik. Mereka menanggap bahwa uang bisa membeli apapun
termasuk kebahagiaan mereka. Namun bagi Edward harta bukan merupakan suatu hal
yang dapat membeli kebahagiaan.
“Apa
pendapatmu, Edward? Kau percaya uang punya pengaruh pada kebahagiaan?”
“Pastinya
uang bisa memecahkan beberapa masalah. Untuk hal lain, sama sekali tak
berguna.”
Dalam dialog tersebut Edward memaparkan bahwa ia tidak
sependapat dengan pernyataan Marianne tentang kebahagiaan yang didasari atas
uang. Bagi Edward, uang dapat membeli apapun kecuali kebahagiaan.
6. “Jika aku adik laki-laki bukan perempuan, aku
akan lawan Willoughby dan bunuh dia dengan pedangku.”
“Untungnya kau bukan. Karena aku tak suka melihatmu
digantung karena membunuh.”
“aku ingin jadi laki-laki. Perempuan tak bisa berbuat
apa-apa. Laki-laki bisa keliling negri dan berbuat banyak. Dan perempuan cuma
duduk dan menunggu terjadi sesuatu.”
Kalimat tersebut adalah percakapan antara Margaret dan
Ibunya. Dalam kalimat tersebut Margaret berusaha membela kakaknya yang sedang
mengalami masalah karena dicampakan Willoughby, tunangannya. Selain
penggambaran sistem Primogeniture yang sering muncul dalam film Sense and
Sensibility, film ini juga menggambarkan sosok perempuan sebagai sosok
inferior. Perempuan selalu ada di peringkat nomor dua setelah laki-laki. Dengan
segala keterbatasannya sebagai perempuan, mereka dianggap tak berdaya karena
perempuan selalu menunggu dan tidak dapat melakukan apapun.
7.
“Apakah
Ny. Ferras di Exeter?”
“Tidak,
Ibuku ada di kota.”
“Maksudku,
Ny. Edward Ferras.”
“Pasti
maksudmu Ny Robert Ferras. Kau belum dengar? Akhirnya adikku menikah dengan
Nona Lucy Steele. Ketika Ibuku memindahkan warisannya ke Robert, Nona Steel
juga memindahkan perasaannya.”
Dalam dialog tersebut digambarkan bahwa sistem Primogeniture
yang diterapkan di Inggris mengakibatkan perempuan menjadi sangat
materialistis. Apapun akan dilakukan oleh perempuan tersebut demi mendapatkan
apa yang ia mau. Dalam hal ini, perempuan digambarkan akan mendapatkan
bahagianya jika ia menikahi pria bangsawan.
2.d. Perbandingan Metode Pembagian Warisan menurut Hukum Islam dengan
Sistem Primogeniture
Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu
bagian dari hukum kekeluargaan (Al-ahwalus Syahsiyah) sangat penting
dipelajari agar dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi
kesalahan dan ketidakadilan seperti yang terjadi pada sistem Primogeniture,
sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan
dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah
ditinggalkan oleh muwaris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang
berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat secara implisit dapat
terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya
dikarenakan tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih
jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:
“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah
kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena
sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi
akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan
mengabarkannya (HR. Ahmad, Turmudzi dan An Nasa’I”)
Perlu
diketahui bahwa Harta waris, merupakan harta yang diberikan dari orang yang
telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan
kerabat-kerabatnya. Pembagian
harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam al qur an, yaitu pada
surat An Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya, telah memberikan pedoman dalam
mengarahkan manusia dalam hal pembagian harta warisan. Pembagian harta ini pun
bertujuan agar di antara manusia yang ditinggalkan tidak terjadi perselisihan
dalam membagikan harta waris. Harta waris
dibagikan jika memang orang yang meninggal meninggalkan harta yang berguna bagi
orang lain.
Pembagian
harta waris dalam islam telah ditetukan dalam al qur an surat an nisa secara
gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta
waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4),
seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6),
mari kita bahas satu per satu, khususnya tipe (1/2)
Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan waris separoh (1/2) :
1.
Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri
dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak laki-laki maupun perempuan,
walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari suaminya yang sekarang (Anak
Tiri)
2.
Seorang suami yang
ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak
laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari
suaminya kini
(anaktiri)
(anaktiri)
3.
Seorang anak kandung
perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak memiliki anak laki-laki, dan anak
tersebut merupakan anak tunggal.
4.
Cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat: apabila cucu tersebut tidak memiliki
anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan Apabila pewaris tidak lagi
mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
5.
Saudara kandung perempuan
dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak memiliki saudara lain) baik
perempuan maupun laki-laki, dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek ataupun
keturunan baik laki-laki maupun perempuan.
6.
Saudara perempuan se-ayah
dengan syarat: Apabila ia tidak mempunyai saudara (hanya seorang diri), pewaris
tidak memiliki saudara kandung baik perempuan maupun laki-laki dan pewaris
tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunan.
Dari cara pembagian warisan menurut
islam diatas, jelas terlihat betapa semua sanak saudara dari sebuah keluarga
yang ditinggalkan baik itu laki-laki maupun perempuan, seluruhnya mendapatkan
haknya sebagai ahli waris sesuai dengan kodrat dan kedudukannya sebagai anggota
keluarga. Dalam hal ini, jika dibandingkan dengan cara pembagian warisan
menurut system Primogeniture yang diterapkan di Inggris abad ke-18, mulailah
terlihat betapa jauhnya dari kesempurnaan cara manusia dengan cara Allah SWT
menunjukan jalan dalam hal pembagian warisan yang sangat sempurna dan adil.
BAB
III
KESIMPULAN
Dalam tulisan ini, penulis
menggambarkan kembali realitas sosial yang menarik untuk diamati melalui sebuah
penelitian yang berjudul pengaruh sistem primogeniture terhadap kehidupan
perempuan bangsawan di Inggris pada abad ke 18 dalam film Sense and Sensibility
melalui kajian feminis liberal. Penelitian yang bersifat observasi dari
beberapa data ini mendeskripsikan dampak-dampak yang terjadi atas diimplementasikannya
sistem bagi waris Primogeniture di kalangan perempuan. Terutama, bangsawan
inggris dalam film tersebut, dimana film Sense and Sensibility merupakan
refleksi sebenarnya dari kehidupan para bangsawan perempuan yang hidup dimasa
system primogeniture diterapkan.
Secara keseluruhan, penulisan ini
hanya menganalisis sistem
Primogeniture sebagai pengalihan pola pikir tradisional perempuan inggris yang berpandangan
inferior dalam berperan dan berkehidupan, mengetahui dampak
negatif dari sistem Primogeniture di Inggris, mendeskripsikan sosial kondisi
melalui percakapan karakter yang mendukung judul penulisan, dan membandingkan
metode pembagian warisan menurut hukum islam dengan system primogeniture yang
merugikan perempuan. Sehingga, disimpulkan bahwa keempat fokus penulisan
tersebut dapat menganalisis pengaruh sistem primogeniture terhadap kehidupan
perempuan, khusunya di kalangan bangsawan Inggris.
Langganan:
Postingan (Atom)