Jumat, 13 Juni 2014

SERBA SALAHNYA PEMUDA ZAMAN SEKARANG (All About Relationship) by Inton Abdullah

Zaman sudah berubah, pergaulan pun makin bebas. Kenyataan itu kemudian diperparah dengan laju perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, baik berupa gadget, internet, maupun media sosial. Ada semacam tren yang dibentuk dalam ikatan pergaulan, bahwa pacaran merupakan sebuah keharusan. Pacaran dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan, memiliki pacar seakan hukumnya fardhu ‘ain. Jika ada anak muda yang berpikir untuk tidak memiliki pacar, baik itu untuk kepentingan studi maupun karena memang didikan keluarga, maka dia akan dicap sebagai orang kampungan dan berpola pikir kolot.

Para pemuda yang terkena virus dari doktrin para pemuja pacaran akan merasa tersiksa jika tidak segera memiliki pasangan. Jomblo jadi sebutan paling menakutkan yang paling tidak ingin didengar oleh mereka. Keluar jalan-jalan sendiri di malam minggu jadi pemandangan tak biasa di zaman sekarang. Jika pun keluar berdua dengan sesama jenis, bisa-bisa dituduh homo, sungguh serba salah rasanya hidup ini. Mungkin ejekan atau cibiran itu tidak disampaikan secara langsung, tapi mereka bisa menyerang para jomblowan dan jomblowati melalui media sosial. Media sosial sudah menjadi strategi ampuh, selain bisa untuk mem-bully teman, wadah curhat, hingga kegiatan pencitraan para calon elit politik.
Sebenarnya apa yang dilihat dari sebuah hubungan yang bernama pacaran? Apakah kata-kata romantisnya? Apa karena keberadaan pendamping? Atau karena kenikmatan yang bisa diekplorasi dari masing-masing pasangan? Coba kita perhatikan satu persatu. Kita lebih tertarik untuk mencari seorang yang dicintai agar bisa mengungkapkan kata-kata romantis ketimbang mengucapkannya kepada seseorang yang sejak lahir telah mencintai kita. Siapakah gerangan? Ya, ibu dan bapak! Kenapa kita sangat pandai untuk mencari kalimat romantis untuk orang lain, sementara hari ulang tahun orang tua kita lupakan? Kenapa kita sangat berambisi membahagiakan orang lain sementara orang tua kita sudah sibuk membahagiakan kita sejak kita masih dalam kandungan?

Keberadaan pendamping sebenarnya bukan alasan untuk menggebu-gebu mencari pacar. Undangan pernikahan seorang teman yang kita hadiri dengan pacar tidak akan berbeda dengan apabila kita datang sendiri. Paling yang ada, jika datang berdua, malah kita akan terbebani dengan pertanyaan “Kapan kalian nyusul? Belum dapat modal untuk nikah ya?”. Biasanya yang terbebani akan diam mematung dengan senyuman kecut di bibir. Mereka yang terbiasa cuek bisa saja menjawab “Kami nyusul Mei, Meibi yes meibi no!”. Nah, jika sudah seperti itu apa yang harus dibanggakan? Nikah pun belum pasti, yang ada hanya makan hati. Contohnya lagi bagi mereka yang suka mengajak pacarnya ke lapangan futsal untuk menonton dia yang bertanding. Ini kan sungguh merupakan tindakan riya’ (ingin dipuji). Sang lelaki akan mulai mengatakan bahwa dia akan lebih semangat kalau ditonton oleh kekasihnya. So, apakah sang lelaki tidak bisa menendang bola kalau tidak ditonton kekasihnya? Apa dia hanya ingin mencetak gol kalau ditonton? Wah, bahaya kalau seperti itu! Ketika lelakinya tidak bisa mencetak gol saat ditonton, maka itu artinya kehadiran sang wanita tidak menimbulkan dampak apa pun. Dengan kata lain, kehadiran seorang pacar di arena futsal tidak berbanding lurus dengan statistik jumlah gol yang dilesakkan ke gawang. Itu bisa jadi kesimpulan sebuah skripsi!

Selanjutnya, jika alasan berpacaran adalah karena kenikmatan yang bisa dieksplorasi, maka betapa naifnya sebuah hubungan itu. Bukan kebaikan yang diperoleh, tapi hanya bukit dosa yang semakin hari makin menumpuk. Memang ada fakta bahwa setiap tahun jumlah wanita hamil di luar nikah mengalami peningkatan. Apakah kita tidak bisa meng-kambinghitam-kan proses pacaran mendengar fakta tersebut? Bukankah istilah pacaran zaman sekarang sudah menjurus ke arah perzinahan? Pacaran tidak sah tanpa ciuman, pacaran tidak resmi tanpa pegangan, pacaran tidak asyik tanpa buka-bukaan, pacaran belum mantap tanpa saling memberikan ‘kehormatan’! Kemudian istilah LDR (Long Distance Relationship) oleh sebagian kalangan digemborkan sebagai hubungan yang ‘tidak normal’. Jelas ini untuk menggambarkan bahwa pasangan yang berhubungan jarak jauh hanya bisa berkomunikasi dengan bantuan teknologi (telepon selular maupun media sosial). Mereka diejek karena tidak bisa secara intensif bertemu. Mereka di-bully karena tidak bisa berciuman, tidak bisa saling mendekap, tidak bisa saling memuaskan secara badaniyah. Begitu parah doktrin yang berkembang di sekitar kita!

Penganut paham pacaran ini semakin hari semakin menjamur. Sasarannya selalu dibidikkan pada para remaja-remaja yang baru melepas masa bau kencurnya. Anak SD (Sekolah Dasar) kini sudah diperlihatkan tentang indahnya pacaran oleh kakak-kakaknya, sehingga mindset anak akan semakin terbuka untuk menerima pacaran sebagai hal yang bersifat kekinian. Banyak sudah anak SMP yang telah hilang keperawanannya akibat pergaulan bebas. Anehnya, mereka selalu bisa move-on untuk melupakan mantan pacarnya yang sudah menodai, kemudian mencari lagi pacar baru yang bisa menerima dia. Pikiran liberalnya berkata : “walaupun kehormatanku sudah hilang, aku bisa mendapatkan cowok yang bisa menerimaku, toh banyak lelaki yang sudah tidak perjaka, hanya saja tidak bisa dibuktikan dengan kasat mata”. Tentu saja pacaran yang hanya memandang pasangan sebagai objek pelampiasan nafsu sesaat akan bisa menerima kekurangan seperti itu, tapi bukan untuk selamanya. Logikanya, tidak ada seseorang yang mau membeli produk yang cacat, karena nanti akan menghasilkan suatu produk baru yang cacat pula. Bisa dipastikan cinta seperti itu tidak akan abadi, apalagi untuk mencari ridho Illahi. Jauh panggang dari api!

Senin, 12 Mei 2014

Ketika Tuhan Menciptakan Indonesia

Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?" "Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi," kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon. Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang". Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang. Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar. Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, "Lalu daerah apakah itu Tuhan?" "O, itu," kata Tuhan, "itu Indonesia. Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah,suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni." Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? " Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the idiots that I put in the government."

Nb : dari berbagai sumber, hasil share :)

Rabu, 07 Mei 2014

Popular Culture and its Problem Solving by Inton Abdullah



culture is one of components that certainly needed by a society. As a matter of fact, a culture will help people individually to show who they really are, in which the culture itself is indeed an identity for society in giving a sense of distinctiveness. In reality, people live on earth without culture is unjustifiable because the culture itself will give the uniqueness to every single person, who views that the sense of distinctiveness is truly important. Come up with the idea that every person is different since they were born, both different in genetic and different in perspective will automatically have an effect on how they behave in life. This discussion is more of a vision rather than a comparative discussion. In addition, living in this world with no rich of identity will not help the people to have such a beautiful life as a culture give an identity to the people in many ways. On the other hand, many people agreed that following the stream of globalization era is a must, meaning to say that many people already agreed that life must have under surveillance of globalization which is important to remember that the globalization has been a way of Americanism currently for the plain people.
            Discussing of Americanism, it is definitely has much more link to do with popular culture. In this globalization era, the existence of the popular culture is indeed undeniable true. Once popular culture contributes a deformation of pure culture of the people, it is difficult for them to turn back in maintaining the originality of their own culture. I suppose that popular culture has been a way to americanize the people in the whole world in all this time. Nowadays, film, music, food, language and literature have been contributing in American popular culture as well. “There is no single culture which is immune toward the existence of the others” (as stated on the question). Since popular culture is well liked by many people, one of the experts, as Storey noted that ‘popular culture’ is simply culture that is widely favored or well liked by many people. I consider the idea of ‘well like by many people’ makes popular culture is mass produced for mass consumed, which is financial gain of those that designing the popular culture is also involved.
            Indonesia indeed has the same experience of popular culture. I simply take one brief case in the university level in order to see the popular culture’s experience around me, Ahmad Dahlan University, Yogyakarta, Indonesia, a university in which I am now. This university principally has as a base of religion’s rule which is requiring its student to wear appropriate clothes and to behave in appropriate manners according to Islam. In fact, most of students (not all students) seem too far out of the religion’s rule; what they wear and how they behave either in the university’s atmosphere or even outside of the university. Mostly, Female students wear jeans, which is one of the popular culture’s form and popular culture’s contribution, some of them wear tight jeans which is giving an impression as if they wanted to show their body shape. On the contrary, the university requires its student to not wear tight clothes, particularly for female student because it simply broke the Islam law (Syariat). Meanwhile, the male students in this university behave as if there is no rule that forbid the male student to have a date with girls in the university’s atmosphere in fact I often find them on date, even friend of mine in this university have an affairs with some other girls outside of the university and more than that, they met each other in a place wherever they thought it was comfortable for them to make love outside of the university’s atmosphere. This is absolutely not right as long as the Islam do not allow its followers to make sexual contact before the followers get married. Meaning to say, what they do is a kind of popular culture’s contribute such as internet. Through internet, porn could be easily accessed, though broke the Islam law eventually.
            The case is that one of the fundamental characteristics of popular culture which will demolish the idea of culture’s originality, such as “not serious concept or idealism” has been a challenge for group of people to maintain their own originality. Because, those that design the popular culture is not going to see the further implication of what they did. It is need to be understood that people simply have to be aware that the idea of ‘not serious concept or idealism’ too have a big risk, which simply to say that popular culture will knock down the cultural values that already existed with belief and custom among those society. As it is stated above that culture is a way of life which is also a path that becomes a belief to be followed by those plain people in some ways. When this popular culture well liked by many people, they will not concern to their ‘id’ which to maintain their own culture, otherwise ‘ego’ will be a major focus for people and the people will only consume the popular culture constantly. Thus, there is a big possibility for those people to fail to remember their own culture. This is when the popular culture became an unpleasant icon for society and this is also when the society is going to lose their identity as a distinctive society compared to the others.
            Considering that the former culture is easily vulnerability, people must have kind of Cultural Awareness and Hybridity of Culture; In order to maintain the originality of their own culture, people simply need to see that their own culture is also their own intellectual richness so another group of people who have another culture need to be considered that the culture itself is their own intellectual richness in order to make an identity, in which the identity itself is sort of restriction to show to another group of people that they are unique and different with their own cultures. However, they have to be fair to view that other cultures are not inconsequential to be learned instead. People are required to be objective instead of being prejudiced to take what is right and to get rid of what is not right on other cultures, and with no doubt that these whole things can be solved with the idea of cultural hybridity and cultural awareness. All in all, the popular culture will no longer be a terrible icon as long as people have a cultural awareness and hybridity of culture.

Rabu, 02 April 2014

lovely dream I remember by Inton Abdullah



LOVELY DREAM I REMEMBER

 

At an early dawn, dark of the woods I smell scent of the pine
The scent isn’t come from the woods but the body spray, cool such ice
I swear to God that I probably would find the sweet fine-smelling pine
I smell it, my feet didn’t see what happen in the woods but my eyes

                        My feet step ahead where it belong to
                        In the heart of the pine woods, it's two!
                        I saw the lovely fairy washing their face in the river, not one but two
                        Swiftly, the two beautiful fairies fly away to the high sky and the moon too

My heart bring to an end
The fairies flight away as if they did want me as a friend
Now, the fairies left only the sweet scent of the pine behind then
Lastly I wake up from the lovely dream with a fine end




*Nb : pengalaman mimpi sendiri

puisi refleksi dari novel Ulid tak ingin ke malaysia oleh Inton Abdullah

O... Neighbor!

O my childhood… I!
I adore it when it goes right
I adore it when it does well definitely
But I can’t stand to this an archipelago when it goes wrong
I hate when everything is not easy to be made out that the joy had gone
And now I talk, walk, drink even blink in the place where I don’t belong
Today in the summer I stand outside of my home
Don’t even recognize which place I used to belong
since a better place is here
Even father and mother know that I could buy things
Then I spent all my day making this :
O my home…!
I have been desperately trying to tell you just so
I am madly in love with your next door
Just so you know…
I have nothing to do with the former home
And won't never come back anymore

Minggu, 30 Maret 2014

Javanese Love Story Tukiyem and Tukijan by Inton Abdullah



Tukiyem and Tukijan

In far away Java island, a young man about twenty years old, whose name is Tukijan holding his sweetheart’s arm. They are lying down on a broad grass field. Under the banyan tree, a girl name Tukiyem is holding back Tukijan’s arm tightly. She is crying, asking for God’s blessing, so that the Tukijan’s journey to achieve his dreams to find a better life will be smooth. They both talk about their love story since they were first met, how they struggled for their love in the middle of those who hated their relationship.
Tukiyem was raised by her aunty in a poor village since her mother died. She did not have anyone else except her aunty, now tukiyem has grown up as an enchanting girl in the village. Nanu, that was what Tukiyem called her aunty. Nanu was a strict woman. She never wanted Tukijan in Tukiyem’s life, because Nanu required Tukiyem to work only for her as a “mbok jamu”, a woman in Indonesia who sells traditional medicines around the village by walking. Tukiyem never wanted to work as a mbok jamu, but she did not have any choice because she simply thought she must do this for her aunty, who raised her since she was nine. Fortunately, the atmosphere of her life started getting colorful once she met Tukijan. Tukijan had been the only man for her in sharing her sorrowful life.
It was almost everyday Tukiyem and Tukijan met each other in a place which they thought was comfortable for them to make love. They did it passionately as if they were a couple of teenagers who were drunk in love in every single day. The days passed, Tukiyem found herself pregnant, it was her first time selling jamu and carrying a baby in her belly at the same time, she was partly excited and partly worried. Excited because of her baby in her belly, worried because she was afraid of a fact that she broke the village’s rule. Most people in the village were the follower of Islam, including her. The religion did not allow its followers to make sexual contact before the followers get married and so did the village. As she was a pregnant woman, it was a difficult circumstance for her.
Tukijan, who was alone and did not have anyone but Tukiyem in the village, was known as a poor man who was still looking for a permanent job around the village, in the village he worked casually as a “buruh tani”, men that worked temporarily in a farm for someone who owned a rice field, he will got paid if he finished his work in the afternoon, he only get one thousand five hundred rupiahs each day. The money was not enough to fulfill of his life’s necessities. On the way home, Tukijan met Tukiyem in the side street. At that time, Tukiyem did not waste the chance to tell Tukijan that she was pregnant. Tukijan was happy to hear the news. Unfortunately, his wage was not as much as other men in the village because of the temporary work he had, he told Tukiyem the truth that both of their salaries would never cover all the necessities if the baby was born.
Tukijan had to go out of the village to find a better work for a better life. He promised Tukiyem that he would never leave her behind. Tukiyem trusted him in all of her heart that Tukijan would come back someday for her if he had a successful life. The day after they met at the side street, they got separated by time and different place. Tukijan left, as the months passed, her belly got bigger and bigger so making everybody that looked at her belly suspicious and so was her aunty. Then, Tukiyem told her aunty the truth. Knowing that her niece broke the village’s rule, Nanu insisted Tukiyem leave the village secretly and quietly. Tukiyem lived two miles away from the village, that nobody would ever know she lived there. 9 months passed, she gave birth. Though her life had never been happy because of she was worried that tukijan would never find her.
Finally, tukijan came back to his former village with his successful life, He did not find Tukiyem in the village. Till, he asked Nanu, and Nanu told him where Tukiyem lived. Tukijan went there. As he arrived to the village where tukiyem lived, he saw tukiyem selling jamu to people. He walked closer to Tukiyem, grabbed Tukiyem’s arm, and then Tukiyem looked back at a man who grabbed her arm. She was speechless, this man was very familiar to her. She hugged Tukijan tightly and went home to see their baby and live happy ever after.

Kamis, 13 Maret 2014

PENGARUH SISTEM PRIMOGENITURE TERHADAP KEHIDUPAN PEREMPUAN BANGSAWAN DI INGGRIS PADA ABAD KE-18 DALAM FILM SENSE AND SENSIBILITY KAJIAN FEMINIS LIBERAL



PENGARUH SISTEM PRIMOGENITURE TERHADAP KEHIDUPAN PEREMPUAN BANGSAWAN DI INGGRIS PADA ABAD KE-18 DALAM FILM SENSE AND SENSIBILITY
KAJIAN FEMINIS LIBERAL



Inton & Debbi Rizki Nurastuti
  
Fakultas Sastra, Budaya dan Ilmu Komunikasi
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.a. Latar Belakang
      Realitas sosial seringkali menstimulasi rasa ingin tahu para cendekiawan untuk dianalisis, baik realitas sosial yang telah ada solusinya maupun realitas sosial yang sering menjadi wacana sensitif  hingga kini. Salah satu realitas sosial yang masih menjadi wacana sensitif tersebut adalah isu gender. Dalam hal ini untuk mengetahui apa dan bagaimana isu gender tersebut, penulis harus mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan gender. Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu genus, yang berarti tipe atau jenis. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka gender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya.
Isu gender sangat berkaitan erat dengan posisi wanita sebagai mahluk inferior dan pria sebagai mahluk superior ciptaan Tuhan. Jika dihubungkan dalam film Sense and Sensibility, dapat disimpulkan bahwa isu gender semakin diperparah dengan di implementasikannya  hukum pembagian warisan Primogeniture di Inggris, dimana sistem bagi waris tersebut sangat merugikan pihak perempuan dan menempatkan laki - laki sebagai posisi yang beruntung.
Primogeniture di Inggris merupakan warisan sistem feodal dari Normandia. Pembagian warisan dengan sistem Primogeniture menggunakan common law, dimana system ini berdasarkan adat dan kebiasaan. Sistem ini digunakan agar kekayaan tidak jatuh ketangan orang lain. Pemerintah Inggris menerapkan sistem Primogeniture dari tahun 1066 hingga 1962. Kurang lebih 900 tahun masyarakat Inggris merasakan sistem pembagian warisan Primogeniture. Sistem Primogeniture merupakan pembagian warisan yang diberikan kepada anak laki-laki pertama saja, sedangkan anak yang lain baik laki-laki maupun perempuan mencari harta dan tahta sendiri tanpa mewarisi apa pun dari orang tua khususnya ayah.
          Penulis mencoba membatasi wacana diatas bahwa metode pembagian warisan Primogeniture di Inggris Raya merupakan metode pembagian warisan yang sangat mempengaruhi aspek kehidupan karakter – karakter utama dalam film Sense and Sensibility, baik status sosialnya maupun ekonominya. Film tersebut merupakan adaptasi dari sebuah novel yang berjudul sama yang ditulis oleh salah satu penulis besar di Inggris yaitu Jane Austen, dimana novel tersebut terbit pada tahun 1811. Jane Austen hidup di keluarga kecil yang harmonis, dan di umurnya yang ke 19 tahun sang penulis novel tersebut tinggal di lingkungan bangsawan – bangsawan Inggris di pertengahan kedua abad 18. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan masyarakat. Pengarang berusaha mengungkapkan suka duka kehidupan masyarakat yang mereka rasakan atau mereka alami melalui karyanya. Selain itu, karya sastra menyuguhkan potret kehidupan dengan menyangkut persoalan sosial dalam masyarakat, maka lahirlah pengalaman kehidupan sosial tersebut dalam bentuk karya sastra.
Melalui karya  sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ada didalamnya. Oleh karena itu, penulis mencoba mengintegrasikan karya sastra sebagai refleksi kehidupan dan kehidupan sosial bermasyarakat Jane Austen yang merupakan penulis novel Sense and Sensibility. Sehingga, dapat dikatakan bahwa Jane Austen yang pada saat itu tinggal di lingkungan bangsawan Inggris berhasil menggambarkan kembali bagaimana kehidupan sosial bermasyarakat para bangsawan yang hidupnya sangat tergantung pada status sosial dan ekonominya.
Sistem pembagian warisan dengan metode Primogeniture tersebut sangat jelas digambarkan melalui film tersebut bahwa perempuan di Inggris pada abad ke 18 baik berdarah bangsawan ataupun rakyat biasa tidak berhak untuk menerima warisan dari sang ayah, sehingga dalam kasus ini sistem bagi waris metode Primogeniture sangat merugikan kehidupan para perempuan bangsawan dari segala aspek kehidupannya, salah satu aspeknya yaitu kondisi ekonomi perempuan – perempuan tersebut, dimana kondisi ekonomi sangat berperan untuk mempertahankan status sosial agar tetap dianggap the Honourable Lady di tengah masyarakat Inggris biasa (Common People), terutama bagi karakter utama dalam film Sense and Sensibility yang merupakan seorang perempuan yang berdarah bangsawan. Tidak hanya status sosial mereka yang terkena pengaruh atas diterapkannya sistem Primogeniture tersebut melainkan juga hal yang bersifat pribadi seperti halnya dunia percintaan para perempuan bangsawan.
           
1.b. Alasan
Film yang berjudul Sense and Sensibility karya sutradara Ang Lee ini menurut penulis sangat menarik untuk dikaji melalui perspektif kajian feminis liberal, karena kajian tersebut sangat menitikberatkan pada pemerataan hak perempuan dan laki – laki secara keseluruhan tanpa adanya pertimbangan laki – laki sebagai manusia superior dan wanita sebagai manusia inferior. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Kekuatan Feminisme" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Teori tersebut beranggapan perempuan diciptakan sama kedudukannya sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki kapabilitas setara dengan laki - laki, sehingga dalam mendapatkan haknyapun seharusnya adil dan setara, tanpa adanya pertimbangan atas perbedaan gender. Namun, hal tersebut sangat bertolak belakang dengan diimplementasikan sistem Primogeniture di Inggris pada abad ke 18, khususnya dalam film Sense and sensibility yang menyebabkan ketidakadilan dalam pembagian harta warisan, sehingga menempatkan ahli waris perempuan di sudut yang tidak menguntungkan sama sekali dalam sebuah keluarga. Adapun beberapa alasan menarik mengapa film Sense and Sensibility ini layak dikaji diantaranya adalah :
1.      Dari beberapa kasus dalam film Sense and Sensibility yang penulis amati, salah satu yang paling menarik untuk diketahui adalah kasus percintaan, dimana dunia percintaan kedua karakter utama dalam film tersebut tidak hentinya mendapatkan hambatan yang sulit dikarenakan mereka tidak mempunyai apa – apa selain status sosialnya sebagai golongan bangsawan. Diterapkannya sistem Primogeniture dalam film Sense and Sensibility, dimana sistem pembagian warisannya sangat tidak menguntungkan kaum perempuan sebagai salah satu ahli waris keluarga.
2.      Perempuan sebagai manusia inferior digambarkan dengan jelas dalam film tersebut, dimana kedua karakter kakak beradik Elinor dan Marianne, yang merupakan dua karakter utama dalam film Sense and Sensibility, sama sekali tidak mendapatkan warisan dari sang ayah sehingga mereka mengalami krisis ekonomi, dimana hal tersebut sangat mempengaruhi status sosial mereka.
3.      Kerangka pikiran yang berkembang di tengah – tengah masyarakat Inggris pada abad ke 18 yang contohnya dapat dilihat melalui jenis kelamin mahasiswa dikedua universitas besar di Inggris yaitu Oxford dan Cambridge berdiri, faktanya hanyalah kaum laki – laki saja yang berhak untuk duduk di bangku sekolah, sedangkan mereka kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan, dengan kata lain posisi wanita selalu disudutkan diabad ini.
4.      Jika kajian feminis liberal menurut Naomi yang pada hakikatnya menuntut penyetaraan hak atas pendidikan dan pendapatan serta kemandirian perempuan sebagai individu dihubungkan dengan fenomena sosial, khususnya yang terjadi pada abad ke 18 di Inggris, maka hal tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta yang terjadi pada masa itu di Inggris, khususnya dalam film Sense and Sensibility karya Ang Lee tersebut.
1.c. Tujuan
            Tujuan umum dibuatnya tulisan ini adalah menganalisis pengaruh sistem Primogeniture terhadap kehidupan perempuan bangsawan (the honorable lady) di Inggris pada abad ke 18 dalam film Sense and Sensibility melalui kajian feminis liberal, adapun tujuan khusus penulisan diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui dampak – dampak lebih jauh atas diterapkannya sistem pembagian warisan yang merugikan ahli waris perempuan, yaitu system Primogeniture terhadap kehidupan para bangsawan perempuan yang direfleksikan kembali oleh Ang Lee melalui sebuah film adaptasi dari sebuah novel berjudul sama yaitu Sense and Sensibility.
2.      Menemukan fakta diskriminasi terhadap perempuan atas penerapan sistem Primogeniture pada abad ke 18 yang diduga adanya kemungkinan pembodohan terhadap harkat dan martabat perempuan, khususnya perempuan bangsawan melalui film tersebut.
3.      Menganalisis kajian feminis liberal menurut pandangan Naomi Woolf dengan cara menghubungkan bagian – bagian film yang mengandung unsur - unsur diskriminasi dengan karakter - karakter utama yang merupakan perempuan dalam film tersebut.
4.      Secara umum, penulis berusaha mencari tahu apakah film ini merupakan gambaran kehidupan para bangsawan di Inggris atau tidak, sebagaimana mereka hidup dibawah tekanan sebuah stereotipe yang merugikan perempuan sebagai manusia inferior pada abad ke 18.
5.      Membandingkan metode pembagian warisan menurut hukum Islam dengan hukum Primogeniture pada abad ke 18 di Inggris.
II KERANGKA TEORI
A.     Teori
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, landasan teori yang digunakan untuk menganalisa film yang berjudul Sense and Sensibility adalah analisis kajian feminis liberal. Oleh karena itu, membahas feminis liberal artinya membicarakan ideology dan asal usul lahirnya feminis liberal. Adapun asal mula lahirnya feminis liberal yaitu disebabkan oleh adanya aliran pemikiran politik yang berada dalam proses rekonseptualisasi, pemikiran ulang, dan penstrukturan ulang. Feminism liberal menekankan dua hal yaitu, pertama bahwa keadilan gender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, dan yang kedua yaitu memastikan tidak satupun dari pelomba untuk kebaikan dan pelayanan bagi masyarakat dirugikan secara sistematis, keadilan gender tidak menuntut kita untuk memberikan hadiah bagi pemenang dan yang kalah . Tujuan umum dari feminis liberal adalah menciptakan masyarakat yang adil dan peduli dimana kebebasan berkembang karena diyakini oleh pencetus kajian feminis liberal, Naomi Woolf bahwa hanya didalam masyarakat seperti itu perempuan dan laki – laki dapat mengembangkan diri.
            Akar feminisme abad ke-18 dan ke-19 Alison Jaggar, dalam Feminist Politic and Human Nature mengamati bahwa pemikiran politis liberal mempunyai konsepsi atas sifat manusia, yang menempatkan keunikan kita sebagai manusia dalam kapasitas kita untuk bernalar. Keseluruhan sistem atas hak individu dibenarkan. Bagi kaum liberal klasik negara yang ideal harus melindungi kebebasan sipil (misalnya, kebebasan menyampaikan pendapat). Bagi kaum liberal yang berorientasi kepada kesejahteraan, sebaliknya Negara yang ideal lebih fokus pada keadilan ekonomi kebebasan sipil. Menurut pandangan kelompok liberal ini, individu memasuki pasar dengan perbedaan pada posisi asal yang menguntungkan, bakat inhern dan keuntungan semata. Feminis liberal kontemporer tampaknya lebih cenderung kepada liberalisme yang berorientasi kepada kesejahteraan. Bahkan Susan Wendell (bukan seorang feminis liberal) menggambarkan pemikiran feminis liberal, ditegaskannya sebagai pemikiran yang berkomitmen kepada pengaturan ulang ekonomi secara besar-besaran dan redistribusi kemakmuran secara lebih signifikan, karena salah satu dari tujuan politik modern yang paling dekat dengan feminisme liberal adalah kesetaraan kesempatan, yang tentu saja akan menuntut dan juga akan membawa kepada kedua komitmen tersebut.
Gerakan Femins Liberal pada abad ke-20 di Amerika Serikat selama tahun 1960-an ada dua kelompok, yaitu The National Women Party dan The National Federation of Bussines and Profesional Women’s Club yang mengampanyekan hak-hak perempuan. Alih-alih usaha kedua kelompok ini, diskriminasi terhadap perempuan tidak juga berakhir terutama karena kepentingan hak-hak  perempuan belum menjadi kesadaran dari kebanyakan penduduk Amerika Serikat. Arah kontemporer dalam feminism liberal berkeinginan membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan alasan yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan baik dalam akademi, forum, maupun pasar. Mereka menekankan bahwa masyarakat patriarkal mencampuradukan seks dan gender dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminim yang layak untuk perempuan.

B.      Metode dan Data Penelitian
Analisis data adalah kegiatan mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi tanda/ kode, dan mengkategorikan data sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan hipotesis kerja berdasarkan data yang diperoleh. Neong Muhadjir menyatakan bahwa analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Definisi-definisi lain tentang analisi data, adalah sebagai berikut:
  • Analisis data merupakan upaya memilah dan memilih data yang mempunyai makna, penting dan dapat digunakan untuk dipelajari, kemudian disampaikan pada orang lain.
  • Analisis data ialah suatu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
  • “Menganalisis data bisa diartikan mengelompokkan data membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkat data sehingga mudah untuk dibaca”.
  • “Data analysis involves organizing what you have seen, heard, and read so that you can make sense of what you have learned” (Analisis data terkait secara sistematik terhadap apa dapat kamu lihat, dengar, dan kamu baca sehingga dapat membuat pengertian dari apa yang kamu pelajari).
Teknik Analisis Data yang penulis gunakan untuk tugas yang berjudul pengaruh sistem Primogeniture terhadap kehidupan perempuan bangsawan di Inggris pada abad ke-18 dalam Film Sense and Sensibility ini menggunakan teknik analisis data kulitatif, dimana sumber data dipilih dan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Proses pengumpulan data mengutamakan perspektif emic (mementingkan bagaimana responden memandang dan menafsirkan dunia sekitarnya). Sesuai dengan jenis data, penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data, pengamatan dan dokumentasi. Ketiga metode pengumpulan data ini merupakan ciri khas penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen (1982: 2), "…qualitative research and those that most embody the characteristics we just touched upon are participant observation and indepth interviewing". Meskipun begitu, penulis akan menggunakan metode pengumpulan data dan pengamatan tanpa mengikutsertakan dokumentasi dalam tulisan ini.
Adapun dari banyak jenis metode penelitian kualitatif yang ada, penulis hanya menggunakan tiga jenis metode penelitian data kualitatif yang sangat tepat untuk diterapkan dalam penulisan yang berjudul pengaruh sistem Primogeniture terhadap kehidupan perempuan bangsawan di Inggris pada abad ke-18 dalam Film Sense and Sensibility ini. Tiga metode yang digunakan adalah sebagai berikut :
1.      Metode Diskriptif Analisis
Metode Diskriptif Analisis akan digunakam dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menfsirkan data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian.
Sanapiah Faisal mengartikan metode deskriptif adalah berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan apa yang ada, baik kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang telah berlangsung dan berkembang. Dengan kata lain metode deskriptif adalah memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang material/fenomena yang diselidiki.
2.      Domain Analisis (analisis bahasa orang lain dalam konteks budaya)  menurut James Spradley, sehingga menjelaskan situasi sosial dan pola budaya di dalamnya.
a.       Hubungan semantik.
·         Tekankan arti dari situasi sosial kepada peserta.
·         Saling berhubungan memaknai situasi sosial dan budaya.
·         Berbagai jenis domain: folk domains/domain rakyat (istilah mereka untuk domain), domain campuran, analitik domain (istilah peneliti untuk domain).
b.       Pemilihan Hubungan Semantik
·         merumuskan pernyataan tentang hubungan-hubungan
·         ulangi proses untuk hubungan semantik yang berbeda
·         domain yang ditemukan kemudian didaftar/didata semua.
3.      Analisis Hermeneutis (hermeneutika = perasaan dalam teks tertulis) Max Van Manen, tidak mencari makna objektif dari teks, tetapi makna dari teks bagi sebagian orang dalam situasi orang lain, yakni mencoba untuk keluar dari ikatan dalam diri analisis – menceritakan kisah mereka, bukan sebagai milik penulis cerita, dan menggunakan kata-kata karakter dalam cerita, namun jika kurang interpretif maka perlu dipahami dari pendekatan lain melalui analisis perbedaan penafsiran teks secara berlapis. Metode penafsiran tersebut terbagi mejadi dua yaitu :
·         Pengetahuan dibangun/konstruktif dengan membangun makna dari teks (dari latar belakang dan situasi sekarang – Konstruksi Sosial ini dikarenakan pengaruh dari orang lain – interaksionisme simbolis)
·         Menggunakan konteks – waktu dan tempat penulisan – untuk mengerti. Bagaimana situasi sosial budayanya.

BAB II
ANALISIS
2.a. Pembodohan terhadap perempuan sebagai mahluk ciptaan Tuhan berharkat dan bermartabat melalui stereotipe tradisional yang berkembang pada abad ke-18 di Inggris oleh kaum laki-laki
Membahas stereotype erat kaitannya dengan sebuah ideology, perlu ditekankan bahwa stereotipe tradisional merupakan perspektif awam yang melihat objek sebagai sasaran inferior, hal ini dianggap benar pada masa itu sehingga diyakini secara turun temurun kebenarannya. Dalam hal ini, penulis mengemukakan kembali fenomena sosial yang telah terjadi pada abad ke-18 di Inggris, dimana fenomena sosial tersebut sangat merugikan perempuan ketika diterapkannya system pembagian warisan Primogeniture. System tersebut diyakini dan diterapkan sebagai a common law di Inggris. Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa sistem pembagian warisan primogeniture tidak memperbolehkan perempuan mendapatkan haknya sebagai ahli waris dalam sebuah keluarga pada abad ke 18 di Inggris. Perempuan tidak berhak menjadi ahli waris selain laki-laki, oleh karena itu kaum laki-laki yang merupakan satu-satunya gender di inggris yang mendapatkan kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah hingga level universitas, seharusnya dapat berpikir kritis akan realitas sosial yang terjadi pada kaum perempuan, sebab hanya kaum laki-laki pada masa itu yang merupakan kaum cendekiawan.
Menanggapi kembali realitas-realitas sosial yang terjadi, jelas dapat menstimulasi pandangan bahwa kaum laki-laki pada masa itu sebenarnya sudah mengetahui fenomena pembodohan yang dilakukan oleh pencetus gagasan Primogeniture yang merupakan kaum laki-laki juga. Sehingga, hal tersebut menciderai hakekat perempuan sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat di tengah masyarakat Inggris, dimana masyarakatnya sangat memperhatikan status sosial dalam bermasyarakat. Menurut pandangan penulis, pembodohan adalah salah satu fenomena yang nyata terjadi pada perempuan abad ke-18 di Inggris. Dengan adanya upaya membuat perempuan tertindas oleh kesuperioritasan pembuat kebijakan yang dilakukan secara sengaja, jika penulis hubungkan dengan fakta bahwa hanya kaum laki-laki yang diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi cendekiawan agar dipandang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, sebaliknya perempuan hanya memiliki peran inferior dan haknya dirampas, maka dapat dikatakan secara umum bahwa perempuan di Inggris pada abad ke-18 adalah korban pembodohan stereotype baik yang secara sengaja dikembangkan maupun tidak disengaja oleh kaum laki-laki pada masa itu.
2.b. Sosial Kondisi
Pada film Sense and Sensibility digambarkan dengan latar tempat pada abad ke-18. Pada abad tersebut, pengarang menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat tingkat menengah keatas yang ada di Inggris. Seperti yang digambarkan, dalam film tersebut menjelakan bahwa terdapat satu keluarga yang tinggal di Norland (sebutan rumah keluarga Dashwood). Keluarga tersebut adalah keluarga Henry Dashwood yang memiliki 4 orang anak, 3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Di Norland Henry tinggal bersama 3 anak perempuan dan istri keduanya.
Henry dan keluarganya tinggal di rumah yang sangat besar dan memiliki banyak pembantu. Dalam film ini digambarkan bahwa kebanyakan bangsawan hampir tidak pernah melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, menjemur karpet, dll. Di dalam film ini juga digambarkan bahwa pada abad ke 18 kendaraan yang mereka miliki berupa kuda beserta keretanya. Cara mereka berkomunikasi satu sama lain juga masih sangat tradisional yaitu melalui surat menyurat. Jane Austen juga menjelaskan bahwa pada abad tersebut mereka menemukan pasangan hidup mereka dengan cara dijodohkan (match maker). Pada umumnya perjodohan tersebut dilakukan oleh sesama keluarga bangsawan yang memiliki banyak harta sehingga status sosial dan perekonomian mereka tetap terjamin. Masyarakat pada umunya menikah di usia yang tergolong masih muda. Masyarakat di Inggris juga memiliki sebuah tradisi tentang pertunangan. Kaum pria biasanya membawa gunting dan memotong rambut calon tunangannya dan menyimpannya di dalam / sela cincinnya sebagai bukti bahwa hati perempuan telah diikat oleh lelaki tersebut. Namun, tradisi pertunangan ini biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh pasangan tersebut. Biasanya rumor tentang pernikahan atau pertunangan sesama bangsawan menyebar dengan sangat cepat, baik itu kabar baik maupun buruk.
2.c. Dampak Negatif dari Sistem Primogeniture pada abad 18 dalam film Sense and Sensibility
Sebelum mengkaji atau menganalisa dampak negatif dari sistem Primogeniture,  penulis akan menjelaskan definisi sistem Primogeniture terlebih dahulu. Primogeniture di Inggris merupakan warisan sistem feudal dari Normandia. Pembagian warisan dengan sistem primogeniture menggunakan common law dimana hukum ini berdasarkan adat dan kebiasaan. Sistem ini digunakan agar kekayaan tidak jatuh ke tangan orang lain. Pemerintah Inggris menerapkan sistem primogeniture dari tahun 1066 hingga 1962. Kurang lebih 900 tahun masyarakat Inggris merasakan sistem pembagian warisan primogeniture. Sistem primogeniture merupakan pembagian warisan yang diberikan kepada anak laki-laki pertama saja, sedangkan anak yang lain baik laki-laki maupun perempuan mencari harta dan tahta sendiri tanpa mewarisi apa pun dari orang tua khususnya ayah.
Melalui penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sistem Primogeniture dalam film Sense and Sensibility sangat memberatkan bagi perempuan. Penulis akan menguraikan beberapa kalimat dari dialog yang merupakan refleksi dari dampak negatif yang ditimbulkan dari Sistem Primogeniture terhadap perempuan dalam film Sense and Sensibility:
1.      “Apakah itu John?”
“Aku disini, Ayah.”
“Hukum melarangku untuk membagi kekayaanku. Jadi kau mewarisi semuanya. Tanpa bantuanmu, Ibu tirimu dan anak-anaknya nyaris tak punya apa-apa.”
Dari penggalan dialog diatas jelas betapa sistem Primogeniture yang digunakan oleh masyarakat di Inggris pada abad tersebut sangat memberatkan bagi kaum perempuan. Elinor, Marianne, Margaret dan Ibunya pada awalnya adalah keluarga bangsawan. Namun karena Ayahnya, Henry sakit keras, dengan sangat terpaksa semua harta warisan diserahkan kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga yaitu John. Oleh karena sistem tersebut, Elinor beserta Ibu dan kedua adik perempuannya terpaksa harus meninggalkan Norland tanpa uang sepeserpun dari harta warisan Ayahnya. Mereka harus memulai hidup baru dengan tinggal di rumah sederhana yang kecil dan hanya dengan pendapatan 400 pounds per tahunnya.
2.      “Aku hanya ingin memberimu sedikit petunjuk tentang adikku, Edward.”
“Aku rasa dia menikmati kunjungannya, Fanny.”
“Kau harus tahu bahwa Ibuku, Ny. Ferras punya harapan besar kepadanya.”
“Aku yakin dia akan memenuhinya.”
“..dalam karir maupun perkawinannya. Dia diharapkan menikah pada wanita muda dari tingkat tinggi atau kaya, kalau bisa keduanya. Kebahagiaannya akan bergantung pada harapan Ibu kami. Jika dia menentangnya, dia tidak akan dapat apa apa.” (dialog film Sense and Sensibility, 1995)
Dalam dialog diatas merupakan percakapan dari Mary dan Fanny yaitu Ibu dari Elinor dan istri John. Dalam setiap kalimat yang diucapkan oleh Fanny menegaskan bahwa Fanny tidak menyukai adiknya Edward untuk berhubungan dengan Elinor karena Elinor adalah seorang bangsawan yang tidak memiliki apa-apa (miskin). Oleh karena Elinor tidak mendapatkan warisan apapun dari ayahnya, Elinor tidak dapat secara sembarangan mencintai pria bangsawan yang memiliki warisan yang banyak seperti Edward. Edward adalah salah satu pria yang mendapatkan banyak warisan karena sistem Primogeniture yang di berlakukan di Inggris pada waktu itu. Sehingga Edward juga harus menikahi perempuan yang kaya agar status sosial dan perekonomiannya tetap berada pada tempatnya.
3.      “Kurasa pasti menyakitkan bagimu melihat adikku menata Norland menurut seleranya.”
“Ini rumahnya sekarang. Kurasa ia harus lakukan sesuai seleranya.”
“Ia juga berusaha menata diriku. Aku sangat mengecewakan keluargaku, Nn. Dashwood. Fanny ingin aku menjadi orang yang penting. Dibicarakan. Kemana-mana dengan kereta kuda.”
Dialog diatas menegaskan bahwa sistem Primogeniture dapat membatasi kebahagiaan dan mengatur jalan hidup bagi orang yang menjalaninya. Keluarga Edward ingin mengatur Edward menjadi seperti apa yang mereka mau karena Edward adalah anak tertua yang suatu saat akan mewarisi seluruh kekayaan keluarga Ferras. Sebagai pewaris harta, Edward juga harus berpenampilan selayaknya anak keturunan bangsawan meskipun itu bertentangan dari keinginan Edward.
“.. dan kamu tidak merasa dirimu dalam kereta kuda.”
“Kuda poni dan kereta kecil cocok untukku. Aku ingin masuk ke gereja, jemaat pedesaan yang tenang. Tapi itu tidak kurang gagah bagi keluargaku. Kurasa kita semua harus mecari cara sendiri agar bahagia.”
4.      “Kekecewaanku adalah bahwa aku tidak tinggal di Devonshire lagi. Bibiku memaksakan hak istimewa kekayaannya kepada sepupunya yang miskin dengan mengirimku untuk bisnis ke London.”
“Dan kau harus berangkat segera?”
“Sebentar lagi.”
            Dalam dialog ini Tn. Willoughby memiliki alasan untuk meninggalkan Marianne karena bibinya tidak menyetujui pernikahan mereka karena bibinya mengetahui bahwa Marianne adalah bangsawan miskin sedangkan Tn. Willoughby adalah calon pewaris harta kekayaan keluarganya. Selain karena alasan Marianne adalah bangsawan miskin, Tn Willoughby ternyata akan menikahi perempuan lain sehingga membuat alasan untuk pergi meninggalkan Marianne.
            “Jika aku masih nyonya di Norland, putri-putriku tak akan diperlakukan begini.”
            Kalimat diatas adalah dialog dari Ibu Marianne. Dapat dilihat bahwa sistem Primogeniture di Inggris pada abad itu sangat menentukan sikap dan tindakan satu sama lain. Orang akan segan dengan seseorang yang lain jika ia mengetahui bahwa orang yang ia hadapi adalah seorang bangsawan yang memiliki harta warisan yang melimpah. Namun jika sebaliknya, orang tersebut akan diperlakukan semena-mena karena mengetahui ia adalah orang biasa. Seperti halnya Marianne yang dicampakan Tn. Willoughby karena ia mengetahui bahwa Marianne adalah bangsawan miskin.
5.      “Bagaimanapun, apa pengaruh harta atau kemegahan dengan kebahagiaan?”
“Kekayaan punya banyak pengaruhnya, kurasa.”
“Elinor, memalukan! Apa kita tidak bahagia? Kita tak bahagia disinni, dan miskin seperti gipsi.”
“Ya, dan kurasa kita mungkin akan lebih bahagia jika lebih banyak uang.”

Dari penggalan dialog diatas menegaskan bahwa sistem Primogeniture juga mempengaruhi pola pikir masyarakat di Inggris terutama wanita. Dalam film ini, perempuan di Inggris digambarkan sebagian besar memiliki watak materialistik. Mereka menanggap bahwa uang bisa membeli apapun termasuk kebahagiaan mereka. Namun bagi Edward harta bukan merupakan suatu hal yang dapat membeli kebahagiaan.
“Apa pendapatmu, Edward? Kau percaya uang punya pengaruh pada kebahagiaan?”
“Pastinya uang bisa memecahkan beberapa masalah. Untuk hal lain, sama sekali tak berguna.”
Dalam dialog tersebut Edward memaparkan bahwa ia tidak sependapat dengan pernyataan Marianne tentang kebahagiaan yang didasari atas uang. Bagi Edward, uang dapat membeli apapun kecuali kebahagiaan.
6.       “Jika aku adik laki-laki bukan perempuan, aku akan lawan Willoughby dan bunuh dia dengan pedangku.”
“Untungnya kau bukan. Karena aku tak suka melihatmu digantung karena membunuh.”
“aku ingin jadi laki-laki. Perempuan tak bisa berbuat apa-apa. Laki-laki bisa keliling negri dan berbuat banyak. Dan perempuan cuma duduk dan menunggu terjadi sesuatu.”
Kalimat tersebut adalah percakapan antara Margaret dan Ibunya. Dalam kalimat tersebut Margaret berusaha membela kakaknya yang sedang mengalami masalah karena dicampakan Willoughby, tunangannya. Selain penggambaran sistem Primogeniture yang sering muncul dalam film Sense and Sensibility, film ini juga menggambarkan sosok perempuan sebagai sosok inferior. Perempuan selalu ada di peringkat nomor dua setelah laki-laki. Dengan segala keterbatasannya sebagai perempuan, mereka dianggap tak berdaya karena perempuan selalu menunggu dan tidak dapat melakukan apapun.
7.      “Apakah Ny. Ferras di Exeter?”
“Tidak, Ibuku ada di kota.”
“Maksudku, Ny. Edward Ferras.”
“Pasti maksudmu Ny Robert Ferras. Kau belum dengar? Akhirnya adikku menikah dengan Nona Lucy Steele. Ketika Ibuku memindahkan warisannya ke Robert, Nona Steel juga memindahkan perasaannya.”
Dalam dialog tersebut digambarkan bahwa sistem Primogeniture yang diterapkan di Inggris mengakibatkan perempuan menjadi sangat materialistis. Apapun akan dilakukan oleh perempuan tersebut demi mendapatkan apa yang ia mau. Dalam hal ini, perempuan digambarkan akan mendapatkan bahagianya jika ia menikahi pria bangsawan.
2.d. Perbandingan Metode Pembagian Warisan menurut Hukum Islam dengan Sistem Primogeniture
          Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al-ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan ketidakadilan seperti yang terjadi pada sistem Primogeniture, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwaris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat secara implisit dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya dikarenakan tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:
“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad, Turmudzi dan An Nasa’I”)

Perlu diketahui bahwa Harta waris, merupakan harta yang diberikan dari orang yang telah meninggal kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya. Pembagian harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam al qur an, yaitu pada surat An Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya, telah memberikan pedoman dalam mengarahkan manusia dalam hal pembagian harta warisan. Pembagian harta ini pun bertujuan agar di antara manusia yang ditinggalkan tidak terjadi perselisihan dalam membagikan harta waris. Harta waris dibagikan jika memang orang yang meninggal meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain.

Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan dalam al qur an surat an nisa secara gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah  (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6), mari kita bahas satu per satu, khususnya tipe (1/2)
Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris separoh (1/2) :
1.      Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari suaminya yang sekarang (Anak Tiri)
2.      Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak berasal dari suaminya kini
(anaktiri)
3.      Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak memiliki anak laki-laki, dan anak tersebut merupakan anak tunggal.
4.      Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat: apabila cucu tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan Apabila pewaris tidak lagi mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.
5.      Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak memiliki saudara lain) baik perempuan maupun laki-laki, dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan baik laki-laki maupun perempuan.
6.      Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila ia tidak mempunyai saudara (hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung baik perempuan maupun laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunan.

Dari cara pembagian warisan menurut islam diatas, jelas terlihat betapa semua sanak saudara dari sebuah keluarga yang ditinggalkan baik itu laki-laki maupun perempuan, seluruhnya mendapatkan haknya sebagai ahli waris sesuai dengan kodrat dan kedudukannya sebagai anggota keluarga. Dalam hal ini, jika dibandingkan dengan cara pembagian warisan menurut system Primogeniture yang diterapkan di Inggris abad ke-18, mulailah terlihat betapa jauhnya dari kesempurnaan cara manusia dengan cara Allah SWT menunjukan jalan dalam hal pembagian warisan yang sangat sempurna dan adil.

BAB III
KESIMPULAN
            Dalam tulisan ini, penulis menggambarkan kembali realitas sosial yang menarik untuk diamati melalui sebuah penelitian yang berjudul pengaruh sistem primogeniture terhadap kehidupan perempuan bangsawan di Inggris pada abad ke 18 dalam film Sense and Sensibility melalui kajian feminis liberal. Penelitian yang bersifat observasi dari beberapa data ini mendeskripsikan dampak-dampak yang terjadi atas diimplementasikannya sistem bagi waris Primogeniture di kalangan perempuan. Terutama, bangsawan inggris dalam film tersebut, dimana film Sense and Sensibility merupakan refleksi sebenarnya dari kehidupan para bangsawan perempuan yang hidup dimasa system primogeniture diterapkan.
            Secara keseluruhan, penulisan ini hanya menganalisis sistem Primogeniture sebagai pengalihan pola pikir tradisional perempuan inggris yang berpandangan inferior dalam berperan dan berkehidupan, mengetahui dampak negatif dari sistem Primogeniture di Inggris, mendeskripsikan sosial kondisi melalui percakapan karakter yang mendukung judul penulisan, dan membandingkan metode pembagian warisan menurut hukum islam dengan system primogeniture yang merugikan perempuan. Sehingga, disimpulkan bahwa keempat fokus penulisan tersebut dapat menganalisis pengaruh sistem primogeniture terhadap kehidupan perempuan, khusunya di kalangan bangsawan Inggris.