Zaman
sudah berubah, pergaulan pun makin bebas. Kenyataan itu kemudian
diperparah dengan laju perkembangan teknologi komunikasi dan informasi,
baik berupa gadget, internet, maupun media sosial. Ada semacam tren yang
dibentuk dalam ikatan pergaulan, bahwa pacaran merupakan sebuah
keharusan. Pacaran dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan, memiliki pacar seakan hukumnya fardhu ‘ain.
Jika ada anak muda yang berpikir untuk tidak memiliki pacar, baik itu
untuk kepentingan studi maupun karena memang didikan keluarga, maka dia
akan dicap sebagai orang kampungan dan berpola pikir kolot.
Para
pemuda yang terkena virus dari doktrin para pemuja pacaran akan merasa
tersiksa jika tidak segera memiliki pasangan. Jomblo jadi sebutan paling
menakutkan yang paling tidak ingin didengar oleh mereka. Keluar
jalan-jalan sendiri di malam minggu jadi pemandangan tak biasa di zaman
sekarang. Jika pun keluar berdua dengan sesama jenis, bisa-bisa dituduh
homo, sungguh serba salah rasanya hidup ini. Mungkin ejekan atau cibiran
itu tidak disampaikan secara langsung, tapi mereka bisa menyerang para
jomblowan dan jomblowati melalui media sosial. Media sosial sudah
menjadi strategi ampuh, selain bisa untuk mem-bully teman, wadah curhat, hingga kegiatan pencitraan para calon elit politik.
Sebenarnya apa yang dilihat dari sebuah hubungan yang bernama
pacaran? Apakah kata-kata romantisnya? Apa karena keberadaan pendamping?
Atau karena kenikmatan yang bisa diekplorasi dari masing-masing
pasangan? Coba kita perhatikan satu persatu. Kita lebih tertarik untuk
mencari seorang yang dicintai agar bisa mengungkapkan kata-kata romantis
ketimbang mengucapkannya kepada seseorang yang sejak lahir telah
mencintai kita. Siapakah gerangan? Ya, ibu dan bapak! Kenapa kita sangat
pandai untuk mencari kalimat romantis untuk orang lain, sementara hari
ulang tahun orang tua kita lupakan? Kenapa kita sangat berambisi
membahagiakan orang lain sementara orang tua kita sudah sibuk
membahagiakan kita sejak kita masih dalam kandungan?
Keberadaan
pendamping sebenarnya bukan alasan untuk menggebu-gebu mencari pacar.
Undangan pernikahan seorang teman yang kita hadiri dengan pacar tidak
akan berbeda dengan apabila kita datang sendiri. Paling yang ada, jika
datang berdua, malah kita akan terbebani dengan pertanyaan “Kapan kalian nyusul? Belum dapat modal untuk nikah ya?”. Biasanya yang terbebani akan diam mematung dengan senyuman kecut di bibir. Mereka yang terbiasa cuek bisa saja menjawab “Kami nyusul Mei, Meibi yes meibi no!”.
Nah, jika sudah seperti itu apa yang harus dibanggakan? Nikah pun belum
pasti, yang ada hanya makan hati. Contohnya lagi bagi mereka yang suka
mengajak pacarnya ke lapangan futsal untuk menonton dia yang bertanding.
Ini kan sungguh merupakan tindakan riya’ (ingin dipuji). Sang lelaki akan mulai mengatakan bahwa dia akan lebih semangat kalau ditonton oleh kekasihnya. So, apakah
sang lelaki tidak bisa menendang bola kalau tidak ditonton kekasihnya?
Apa dia hanya ingin mencetak gol kalau ditonton? Wah, bahaya kalau
seperti itu! Ketika lelakinya tidak bisa mencetak gol saat ditonton,
maka itu artinya kehadiran sang wanita tidak menimbulkan dampak apa pun.
Dengan kata lain, kehadiran seorang pacar di arena futsal tidak
berbanding lurus dengan statistik jumlah gol yang dilesakkan ke gawang.
Itu bisa jadi kesimpulan sebuah skripsi!
Selanjutnya, jika
alasan berpacaran adalah karena kenikmatan yang bisa dieksplorasi, maka
betapa naifnya sebuah hubungan itu. Bukan kebaikan yang diperoleh, tapi
hanya bukit dosa yang semakin hari makin menumpuk. Memang ada fakta
bahwa setiap tahun jumlah wanita hamil di luar nikah mengalami
peningkatan. Apakah kita tidak bisa meng-kambinghitam-kan proses pacaran
mendengar fakta tersebut? Bukankah istilah pacaran zaman sekarang sudah
menjurus ke arah perzinahan? Pacaran tidak sah tanpa ciuman, pacaran
tidak resmi tanpa pegangan, pacaran tidak asyik tanpa buka-bukaan,
pacaran belum mantap tanpa saling memberikan ‘kehormatan’! Kemudian
istilah LDR (Long Distance Relationship) oleh sebagian kalangan
digemborkan sebagai hubungan yang ‘tidak normal’. Jelas ini untuk
menggambarkan bahwa pasangan yang berhubungan jarak jauh hanya bisa
berkomunikasi dengan bantuan teknologi (telepon selular maupun media
sosial). Mereka diejek karena tidak bisa secara intensif bertemu. Mereka
di-bully karena tidak bisa berciuman, tidak bisa saling
mendekap, tidak bisa saling memuaskan secara badaniyah. Begitu parah
doktrin yang berkembang di sekitar kita!
Penganut paham
pacaran ini semakin hari semakin menjamur. Sasarannya selalu dibidikkan
pada para remaja-remaja yang baru melepas masa bau kencurnya. Anak SD
(Sekolah Dasar) kini sudah diperlihatkan tentang indahnya pacaran oleh
kakak-kakaknya, sehingga mindset anak akan semakin terbuka
untuk menerima pacaran sebagai hal yang bersifat kekinian. Banyak sudah
anak SMP yang telah hilang keperawanannya akibat pergaulan bebas.
Anehnya, mereka selalu bisa move-on untuk melupakan mantan
pacarnya yang sudah menodai, kemudian mencari lagi pacar baru yang bisa
menerima dia. Pikiran liberalnya berkata : “walaupun kehormatanku
sudah hilang, aku bisa mendapatkan cowok yang bisa menerimaku, toh
banyak lelaki yang sudah tidak perjaka, hanya saja tidak bisa dibuktikan
dengan kasat mata”. Tentu saja pacaran yang hanya memandang
pasangan sebagai objek pelampiasan nafsu sesaat akan bisa menerima
kekurangan seperti itu, tapi bukan untuk selamanya. Logikanya, tidak ada
seseorang yang mau membeli produk yang cacat, karena nanti akan
menghasilkan suatu produk baru yang cacat pula. Bisa dipastikan cinta
seperti itu tidak akan abadi, apalagi untuk mencari ridho Illahi. Jauh
panggang dari api!