Jumat, 13 Juni 2014

SERBA SALAHNYA PEMUDA ZAMAN SEKARANG (All About Relationship) by Inton Abdullah

Zaman sudah berubah, pergaulan pun makin bebas. Kenyataan itu kemudian diperparah dengan laju perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, baik berupa gadget, internet, maupun media sosial. Ada semacam tren yang dibentuk dalam ikatan pergaulan, bahwa pacaran merupakan sebuah keharusan. Pacaran dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan, memiliki pacar seakan hukumnya fardhu ‘ain. Jika ada anak muda yang berpikir untuk tidak memiliki pacar, baik itu untuk kepentingan studi maupun karena memang didikan keluarga, maka dia akan dicap sebagai orang kampungan dan berpola pikir kolot.

Para pemuda yang terkena virus dari doktrin para pemuja pacaran akan merasa tersiksa jika tidak segera memiliki pasangan. Jomblo jadi sebutan paling menakutkan yang paling tidak ingin didengar oleh mereka. Keluar jalan-jalan sendiri di malam minggu jadi pemandangan tak biasa di zaman sekarang. Jika pun keluar berdua dengan sesama jenis, bisa-bisa dituduh homo, sungguh serba salah rasanya hidup ini. Mungkin ejekan atau cibiran itu tidak disampaikan secara langsung, tapi mereka bisa menyerang para jomblowan dan jomblowati melalui media sosial. Media sosial sudah menjadi strategi ampuh, selain bisa untuk mem-bully teman, wadah curhat, hingga kegiatan pencitraan para calon elit politik.
Sebenarnya apa yang dilihat dari sebuah hubungan yang bernama pacaran? Apakah kata-kata romantisnya? Apa karena keberadaan pendamping? Atau karena kenikmatan yang bisa diekplorasi dari masing-masing pasangan? Coba kita perhatikan satu persatu. Kita lebih tertarik untuk mencari seorang yang dicintai agar bisa mengungkapkan kata-kata romantis ketimbang mengucapkannya kepada seseorang yang sejak lahir telah mencintai kita. Siapakah gerangan? Ya, ibu dan bapak! Kenapa kita sangat pandai untuk mencari kalimat romantis untuk orang lain, sementara hari ulang tahun orang tua kita lupakan? Kenapa kita sangat berambisi membahagiakan orang lain sementara orang tua kita sudah sibuk membahagiakan kita sejak kita masih dalam kandungan?

Keberadaan pendamping sebenarnya bukan alasan untuk menggebu-gebu mencari pacar. Undangan pernikahan seorang teman yang kita hadiri dengan pacar tidak akan berbeda dengan apabila kita datang sendiri. Paling yang ada, jika datang berdua, malah kita akan terbebani dengan pertanyaan “Kapan kalian nyusul? Belum dapat modal untuk nikah ya?”. Biasanya yang terbebani akan diam mematung dengan senyuman kecut di bibir. Mereka yang terbiasa cuek bisa saja menjawab “Kami nyusul Mei, Meibi yes meibi no!”. Nah, jika sudah seperti itu apa yang harus dibanggakan? Nikah pun belum pasti, yang ada hanya makan hati. Contohnya lagi bagi mereka yang suka mengajak pacarnya ke lapangan futsal untuk menonton dia yang bertanding. Ini kan sungguh merupakan tindakan riya’ (ingin dipuji). Sang lelaki akan mulai mengatakan bahwa dia akan lebih semangat kalau ditonton oleh kekasihnya. So, apakah sang lelaki tidak bisa menendang bola kalau tidak ditonton kekasihnya? Apa dia hanya ingin mencetak gol kalau ditonton? Wah, bahaya kalau seperti itu! Ketika lelakinya tidak bisa mencetak gol saat ditonton, maka itu artinya kehadiran sang wanita tidak menimbulkan dampak apa pun. Dengan kata lain, kehadiran seorang pacar di arena futsal tidak berbanding lurus dengan statistik jumlah gol yang dilesakkan ke gawang. Itu bisa jadi kesimpulan sebuah skripsi!

Selanjutnya, jika alasan berpacaran adalah karena kenikmatan yang bisa dieksplorasi, maka betapa naifnya sebuah hubungan itu. Bukan kebaikan yang diperoleh, tapi hanya bukit dosa yang semakin hari makin menumpuk. Memang ada fakta bahwa setiap tahun jumlah wanita hamil di luar nikah mengalami peningkatan. Apakah kita tidak bisa meng-kambinghitam-kan proses pacaran mendengar fakta tersebut? Bukankah istilah pacaran zaman sekarang sudah menjurus ke arah perzinahan? Pacaran tidak sah tanpa ciuman, pacaran tidak resmi tanpa pegangan, pacaran tidak asyik tanpa buka-bukaan, pacaran belum mantap tanpa saling memberikan ‘kehormatan’! Kemudian istilah LDR (Long Distance Relationship) oleh sebagian kalangan digemborkan sebagai hubungan yang ‘tidak normal’. Jelas ini untuk menggambarkan bahwa pasangan yang berhubungan jarak jauh hanya bisa berkomunikasi dengan bantuan teknologi (telepon selular maupun media sosial). Mereka diejek karena tidak bisa secara intensif bertemu. Mereka di-bully karena tidak bisa berciuman, tidak bisa saling mendekap, tidak bisa saling memuaskan secara badaniyah. Begitu parah doktrin yang berkembang di sekitar kita!

Penganut paham pacaran ini semakin hari semakin menjamur. Sasarannya selalu dibidikkan pada para remaja-remaja yang baru melepas masa bau kencurnya. Anak SD (Sekolah Dasar) kini sudah diperlihatkan tentang indahnya pacaran oleh kakak-kakaknya, sehingga mindset anak akan semakin terbuka untuk menerima pacaran sebagai hal yang bersifat kekinian. Banyak sudah anak SMP yang telah hilang keperawanannya akibat pergaulan bebas. Anehnya, mereka selalu bisa move-on untuk melupakan mantan pacarnya yang sudah menodai, kemudian mencari lagi pacar baru yang bisa menerima dia. Pikiran liberalnya berkata : “walaupun kehormatanku sudah hilang, aku bisa mendapatkan cowok yang bisa menerimaku, toh banyak lelaki yang sudah tidak perjaka, hanya saja tidak bisa dibuktikan dengan kasat mata”. Tentu saja pacaran yang hanya memandang pasangan sebagai objek pelampiasan nafsu sesaat akan bisa menerima kekurangan seperti itu, tapi bukan untuk selamanya. Logikanya, tidak ada seseorang yang mau membeli produk yang cacat, karena nanti akan menghasilkan suatu produk baru yang cacat pula. Bisa dipastikan cinta seperti itu tidak akan abadi, apalagi untuk mencari ridho Illahi. Jauh panggang dari api!